Selasa, 29 Juli 2008

Candi Jawi, candi singosari, candi penataran, sendhang dhuwur, sunan giri

A. Pendahuluan

Observasi dimulai dari candi jawi yang terletak Candi Jawi terletak di Tretes, termasuk dalam wilayah administratif desa Wates kecamatan Prigen, kabupaten Pasuruan, provinsi Jawa Timur. Candi ini berada pada ketinggian 285 meter di atas permukaan laut. Pada arah selatan tampak lereng bukit Arjuna. Perjalanan observasi selanjutnya adalah Candi Singosari, candi ini berada di Jalan Kertanegara Desa Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Dari Kota Malang ± 10 Km ke arah utara. Dari kota Surabaya ± 88 Km ke arah selatan. Kemudian observasi dilanjutkan pada Lokasi bangunan terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Pana­taran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur. Untuk sampai di lokasi percan­dian dapat ditempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu ke arah Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota Blitar sampai lokasi diperkirakan 12 km. Observasi kemudian dilanjutkan ke Kabupaten Lamongan Jawa Timur, tepatnya di puncak gunung Amintuno desa Sendangduwur kecamatan Paciran, yang berada pada ketinggian 75 meter dari permukaan laut. Observasi yang terakhir pada Di kabupaten Gresik, tepatnya di atas punggung bukit Giri, terletak kompleks makam seorang wali yang termasyhur dari wali sanga, yaitu Sunan Giri.

Observasi ini dilakukan dengan menerapkan metode CTL yaitu Construtivist Teaching Learning. Dalam metode ini observer melakukan inquiry atau penyelidikan. Dengan membentuk kelompok, observer melakukan penyelidikan langsung terhadap fenomena-fenomena yang di temui pada lokasi candi-candi dan makam wali yang dikunjungi. Disana mereka melihat dan menemukan secara langsung hal-hal yang menarik sekaligus penting untuk di observasi. Hal-hal yang penting untuk diobservasi adalah bentuk bangunan, ragam hias, fungsi bangunan dan bentuk relief.

Dalam proses penyelidikan ini, observer melakukan beberapa tahap yaitu mengidentifikasi data (identifying), mengelompokkan data (classifying), menghubungan data-data yang telah didapatkan dalam bentuk kalimat(communicating), setelah itu mencari hubungan antar data (interpretasi), dan langkah yang terakhir adalah mencari kesimpulan akhir terhadap data-data yang diperoleh (conclusion).

B. Seni Bangunan

Candi di Jawa Timur berbentuk ramping tinggi, tidak seperti candi-candi di Jawa Tengah yang umumnya berbentuk gemuk pendek (tambun). Candi-candi tersebut biasanya terbuat dari batu bata adhesit. Ciri bangunan candi menunjukkan percampuran budaya Hindu dan Budha. Ciri candi Hindu-Budha ini masih dipertahankan saat Islam masuk ke Pulau Jawa. Kompleks pemakaman wali yang menjadi satu masjid masih menunjukkan cirri-ciri Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan, ragam hiasnya serta relief yang mampunyai banyak kesamaan.

1. Candi Jawi

Candi ini berukuran tinggi 24,50 m, panjang 14,20 m, dan lebar 9,50 m. Bangunan ini berdiri di atas sebuah batur (tanah yang ditinggikan) dan dikelilingi oleh pagar halaman yang sangat luas. Candi Jawi berdenah bujur sangkar dengan menampilkan empat sisinya. Keunikan dari candi Jawi adalah bangunan ini dikelilingi oleh sebuah kolam yang berukuran panjang 54 m, lebar 3,50 m, dan dalam 2 m, yang keseluruhannya terbuat dari batu bata dengan ketebalan tembok kolam 0,90 m. Kolam tersebut sekarang masih berisi air dan dihiasi dengan bunga teratai sebagai lambing keabadian.

Struktur bangunan candi Jawi secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki (subasemen), badan (tubuh), dan atap (puncak). Bagian kaki candi menunjukkan sifat bangunan agama Siwa, sedangkan puncaknya menunjukan sifat bangunan agama Budha. Bagian tubuh candi hanya memiliki sebuah ruangan yang terletak di bagian tengah dengan pintu masuk dari arah timur. Kamar ini tampak kosong, tidak berisi arca tetapi berisi lingga, dan yoni. Di sisi tubuh candi terdapat relung-relung yang berisi arca, namun sekarang relung-relung itu kosong. Relung-relung itu sebenarnya berisi arca-arca; Ardhanari, Durga, Siwa, Guru, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara. Bagian puncak candi berbentuk segi empat, makin ke atas semakin kecil dan puncaknya berbentuk dagoba (stupa) sebagai ciri bangunan beragama Budha.

2. Candi Singosari

Seperti candi Jawi, candi Singosari juga dibagi menjadi tiga bagian yaitu batur candi atau teras, kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi.

a. Batur candi atau teras.

Batur atau teras tersebut dapat dinaiki dari arah barat melalui sebuah tangga buatan. Dahulu tangga aslinya ada dua, dan terdapat di kanan kiri penampil batur yang menjorok lebih ke barat di depan pintu masuk ruang utama. Sayang bahwa teras yang menjorok tersebut batu-batunya tidak di temukan kembali, sehingga tidak dapat dipasang lagi sebagaimana mestinya untuk mengetahui posisi dari jorokan dan tangga masuk tersebut.

b. Kaki Candi

Di kaki candi terdapat ruang utama di tengah, serta lima ruang yang mengelilingi. ruang-ruang tersebut sekarang kosong tanpa arca kecuali ruang sisi selatan yang berisi arca Siwa Guru. Arca-arca candi Singosari ini diambil dan diangkut ke Belanda tahun 1819 yang selajutnya ditempatkan di Museum Leiden. Begitu kita berada di muka pintu utama, pada kanan dan kiri pintu masuk terdapat di ruang pengapit yang lebih kecil ruang sebelah utara pintu masuk dahulu ditempati arca Mahakala Sedangkan ruang sebelah selatan dahulu ditempati arca Nandicwara.

Di dalam ruang utama, terdapat sebuah pedestal (landasan) yang rusak dari arca atau lingga. Landasan arca adalah Siwa Bhairawa. Arca tersebut mempunyai ukuran tinggi : 1,67 meter, lebar: 0,78 meter, dan dalam: 0,60 meter. Sedangkan permukaan pedestal berukuran ±1 meter persegi, sehingga memungkinkan arca sebesar arca Siwa Bhairawa untuk berdiri diatasnya.

Ruang sisi utara ditempati arca Durga, yang sekarang sudah tidak ada ditempatnya. Durga adalah bentuk Dewi Uma Parwati (istri Siwa) dalam penjelmaannya yang bersifat Demonis (raksasa). Durga diwujudkan sebagai Durgamanisasuramardini, yaitu bentuk Durga ketika berperang melawan raksasa (asura) yang mengacau kahyangan. Durga yang bertangan 8 (delapan) dengan senjata-senjata milik para dewa menghajar raja raksasaa. Karena merasa gusar, raksasa berubah wujud sebagai lembu (mahisa). Tetapi Durga dapat mengalahkannya: Sebelum terbunuh raksasa keluar dari badan lembu, namun seketika itu juga rambut raksasa direnggut, kemudian raksasa dapat dibunuhnya.

Ruang sisi timur ditempati oleh arca dewa Ganesya yang sekarang juga sudah tidak lagi ditempatinya. Dewa Ganesya adalah putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma Parwati. Ia digambarkan anak-anak yang gemuk, perut buncit, dan berkepala gajah. Ketika Dewi Parwati sedang mengandung, ia dikejutkan oleh kendaraan Dewa Indra yaitu seekor gajah yang sangat besar yang bernama Airawata yang dibawa oleh Dewa Indra untuk mengunjungi Dewi Parwati. Karena terkejut yang amat sangat akhirnya bayi yang dikandungnya lahir, bayi tersebut berkepala gajah.

Dewa Ganesya digambarkan duduk, bertangan 4, senjata yang dibawanya kapak dan tasbih. Disamping itu tidak ketinggalan membawa mangkuk. Dewa ganesya adalah dewa ilmu pengetahuan, hal ini dilambangkan oleh belalainya yang terus menerus menghisap madu di dalam mangkuk yang dibawanya, serta perutnya yang gendut (lambodhara) juga sebagai dewa penghancur rintangan (Wigneswara) karena sifatnya itulah orang sering mohon perlindungannya dengan menyebut Om Awignam Astu.

Ruang sisi selatan berisi arca Resi Guru atau disebut juga Siwa Guru. Dalam hal ini sering arca ini dikenal dengan sebutan Resi Agastya. Arca ini sekarang masih ditempatnya. Siwa Guru adalah bentuk dewa Siwa sebagai Resi Guru, yaitu guru dari para resi. Ia digambarkan sebagai orang tua yang berjanggut dan berkumis lebat. Memakai sorban atau terkadang rambutnya disanggul, membawa tasbih dan Kendi Amerta. Pundak kiri terdapat kebut lalat (camara), sedangkan pada sisi kanan terdapat senjata Trisula. Siwa mahaguru ini ada yang menghubungkan dengan tokoh Resi Agastya, Resi Agastya dalam teogoni (asal-usul dewa) Hindu dikenal sebagai salah satu murid Dewa Siwa yang paling disayangi. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai penjelmaan Siwa di dunia. Resi Agastya dianggap pula sebagai pembawa dan penyebar agama Hindu di India Selatan dan Indonesia.

c. Tubuh candi

Pada bagian ini terdapat empat relung di masing-masing sisinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa ruang celah itu dahulu berisi arca atau memang ruang celah tersebut tidak perlu diisi arca-arca, mengingat posisi ruang celah tersebut kurang besar untuk tempat sebuah arca. Dalam sistem pantheon dari aliran Saiwa Sidhanta, alam ini dibagi menjadi tiga bagian. Ada alam Niskala (tak berwujud), tempat Paramasiwa bersemayam. Kedudukannya dialam atas. Tidak berwujud, tidak dapat dibayangkan, tetepi ada. Pada bagian candi diwakili oleh puncak. Kemudian ada alam Sakala-Niskala (alam wujud - tak berwujud). Alam ini merupakan alam antara, dan diduduki oleh Sadasiwa dengan empat aspeknya yang kesemuanya sebenarnya penjelmaan Siwa juga. Mereka itu adalah Siwa, Wisnu, Brahma, dan Maheswara. Sedangkan alarn bawah adalah alam sakala (alam wujud), yaitu bagian kaki candi yang dikuasai oleh Maheswara. Pada Candi Singosari, tubuh candi rnelambangkan alam Sakala-Niskala yaitu alam antara, Alam ini dikuasai Dewa Siwa sebagai sadasiwa dengan keempat aspeknya. Sadasiwa berada di pusat, sedangkan keempat aspeknya berada pada setiap penjuru mata angin, Siwa di barat, Wisnu di utara, Brahma di selatan, dan Maheswara di timur. Di atas ruang celah terdapat pula muka kala atau Kirtimuka yang ornamentasinya sempurna. lain dengan hiasan muka kala yang tardapat di atas pintu ruang kaki candi yang kebanyakan belum selesai.

d. Puncak Candi

Puncak candi berbentuk limas dengan atap pejal berbentuk kubus. Puncak itu sudah runtuh, begitu pula keempat puncak yang mengelilinginya, apa yang kita dapatkan sekarang adalah sebuah candi yang terkesan ramping menjulang bagian atasnya dan gemuk bagian bawahnya.

3. Candi Penataran

Candi penataran adalah sebuah kompleks percandian yang terdiri dari beberapa bagian candi yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian-bagian candi itu adalah halaman candi yang disebut Bale Agung, Pendopo Teras, Candi Angka Tahun, Candi Naga, dan Candi Induk.

a. Bale Agung

Bangunan ini terletak di bagian barat-laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, dindingnya masih dalam keadaan polos. Pada dinding sisi selatan dan juga sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur, ada dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kapala ular tersembul pada bagian sudut-sudut bangunan. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat area penjaga yang berupa arca Mahakala yang terletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi timur yang nampaknya tidak lengkap lagi. Bangunan ini berukuran panjang 37 meter, lebar 18.84 meter dan tinggi 1.44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan bale agung menurut N.J. Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda.

b. Pendopo Teras

Bangunan ini disebut juga batur pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan bale agung. Berbeda dengan bangunan bale agung yang polos bangunan pendopo teras ini dindingnya dike­lilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga pada bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur.

Seperti pada bangunan bale agung, sekelil­ing tubuh bangunan pendopo teras juga dililiti ular yang ekor­nya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.

Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, berbentuk empat per­segi panjang dengan ukuran panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,50 meter. Bangunan pendopo teras ini berfungsi sebagai tempat untuk menaruh sesaji dalam upacara keagamaan.

c. Candi Angka Tahun

Disebut Candi Angka Tahun karena di atas ambang pintu masuk ban­gunan terdapat angka tahun 1291 Saka (1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Candi Browijoyo karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Bra­wijaya. Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tum­pal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki.

Candi Angka Tahun terdiri dari bagian-bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi di­mana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan ke­mudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki.

d. Candi Naga

Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada di halaman B bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu masuk ke bilik candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada sat ini adalah hasil pemugaran tahun 1917-1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh­-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah masing-masing berada disudut-sudut bangunan di bagian tengah ketiga dinding dan di sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian mewah dengan prabha di ba­gian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan.Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan.

e. Candi Induk

Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya bangunan candi yang paling besar diantara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat dihalaman kom­pleks percandian. Lokasi bangunan terletak di bagian yang paling belakang yakni bagian yang dianggap suci. Bangunan candi induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Pada keempat sisinya kira-kira dibagian tengah masing-masing dinding terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 me­ter. Pada teras pertama dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan. Teras kedua bentukrrya berbeda dengan teras pertama bagian­ yang menjorok bukan ke luar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil.

Adanya perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong di lantai teras pertama sehingga orang dapat berjalan jalan mengelilingi ba­ngunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambar­kan dalam relief. Tempat kosong ini namanya selasar. Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga. Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-din­dingnya berpahatkan arca singa hersayap dan naga ber­sayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dalam posisi ber­jongkok dan kaki depannya diangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang yang kosong juga menjadi pilaster bangunan.

Yang menarik dari lantai teras ketiga ini adalah sewaktu dia­dakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian tengah lantai teras terbuat daci bahan bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan. Berdasarkan data-data tersebut timbul dngaan bahwa bangunan asli Candi Penataran dibuat dari bahan bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan menutupinya memakai batu an­desit. Perluasan itu teijadi pada jaman Majapahit. Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan bata merah ini yang dimaksudkan dalam prasasti Palah diperlukan pe­nelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.

Dengan sampainya di lantai teras ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki candi. Di sinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian­bagian bangunan belum dapat ditemukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh candi induk belum dapat diselesaikan. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 Masehi. Di bagian belakang arca dwa­raphala ini terdapat relief cetita, relief-relief cerita juga terdapat pada dinding-dinding teras pertama dan kedua bangunan candi Induk yang nanti akan diceritakan tersendiri.

4. Sendang Dhuwur

a. Bangunan Masjid

Sendangduwur kecamatan Paciran, yang berada pada ketinggian 75 meter dari permukaan laut. Di lokasi ini dapat kita temui makam R. Noer Rochmat atau yang biasa disebut Makam Sunan Sendang, pekuburan penduduk, keluarga dan pengikut Sunan Sendang, serta bangunan Masjid. Untuk mengetahui umur masjid tersebut, dapat diketahui pada papan kecil yang terpasang pada balok serambi masjid, yang bertuliskan huruf Jawa dan memuat Candra Sangkala yang berbunyi Gunaning sariro tirto hayu yang artinya menunjukkan angka tahun 1483 Saka atau 1561 Masehi. Pada bangunan masjid yang saat ini kita lihat setelah direnovasi, terdapat tiga pintu masuk untuk bagian depan. Di setiap depan masuk bertuliskan angka tahun. Pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1421 Saka, pintu tengah 1339 Hijriyah (dengan tulisan Arab), dan pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1920 Masehi saat masjid ini direnovasi. Masjid ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali renovasi sesuai dengan tulisan yang terdapat pada salah satu papan yang ada di dalam masjid. Papan tersebut bertuliskan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang artinya “Ketahuilah bahwa masjid ini dibina dua kali, yang pertama pada tahun 1483 Jawa. Dan yang kedua pada tahun 1851 Jawa. Pada pembinaan yang kedua masih dipergunakan batu-batu dan sebagian kayu jati bangunan masjid lama.”

b. Makam

Untuk mengetahui kapan R. Noer Rochmat atau Sunan Sendang wafat dapat dilihat pada dinding makam. Oleh Dr. W.F. Stutterheim angka tersebut dibaca dari kanan ke kiri yaitu 7051. Bila dibaca dari kiri ke kanan menunjukkan 1507 Saka atau tahun 1585 Masehi.

Keistimewaan makam Sunan Sendang yaitu terdapat dua buah gapura yang sangat menarik. Gapura yang terletak di sebelah utara masjid disebut dengan Gapuro E, Sedangkan gapura yang terletak di sebelah barat masjid disebut Gapura B yang oleh penduduk disebut gapuro urung-urung. Kedua gapura tersebut puncaknya tertutup yang dikenal dengan istilah gapura paduraksa. Kalau di bali disebut pamedal agung.

Selain itu dapat pula kita jumpai sebuah lubang kecil yang berisi air di dalam halaman pemakaman. Lubang itu disebut Sumur Paidon. Letaknya tepat di depan gapura B, sebelah kiri tangga turun menuju makam. Menurut cerita, tempat ini adalah tempat peludahan R. Noer Rochmat atau Sunan Sendang.

5. Sunan Giri

Pembahasan aspek seni bangunan dititikberatkan pada bangunan makam utama dan gapura.

a. Masjid

Pembahasan bangunan masjid, diutama­kan pada masjid yang sekarang dimanfaatkan sebagai masjid wanita. Hal ini dikarenakan masjid tersebut bangunan aslinya berasal dari tahun 1544 sebagaimana tertera dalam inskripsi bagian depan masjid Ainul Yakin. Karena adanya renovasi tahun 1857 bangunan masjid yang pertama dibangun di situs Giri digeser dan dimanfaatkan khusus untuk ibadah kaum wanita. Bangunan utama masjid yang ada dewasa ini berasal dari tahun 1857 M. Sebagai ganti dari masjid yang terdahulu, yang didirikan pada tahun 1544, yaitu masa Sunan Dalem (1506-1545). Pada tahun 1960 M masjid Ainul Yakin disempurnakan hingga menjadi bangunan yang ada sekarang.

b. Gapura

Dari arah selatan, untuk masuk ke kompleks Sunan Giri tersedia jalan melalui gapura yang berbentuk candi Bentar. Lahan di lereng bukit di selatan candi Bentar merupakan tempat pemakaman. Berdasarkan perbandingan dengan kompleks Sunan Drajat, gapura candi bentar di kompleks Sunan Giri seharusnya berada pada tingkat 5 dari tingkat-tingkat di kompleks Sunan Giri. Keadaan gapura candi bentar ini sudah sangat rusak, namun pada dasarnya bangunan itu dapat dikatakan mempunyai bentuk yang sama dengan candi bentar Wringin Lawang, yaitu merupakan tipe candi Jawa Timur yang dibelah dua, dan biasanya bersayap. Bagian kiri-kanannya masih terlihat bekas-bekas kaitan tembok, sebagai petunjuk bahwa candi bentar itu dahulu memiliki sayap. Pada bagian depannya terdapat dua pilar sepanjang kira-kira 4½ m, bagian bawah pilar ini agak melengkung ke dalam. Dengan melalui jalan di tengah lebih kurang 30 meter sampailah ke candi bentar gapura (yang besar) pada tingkat 6 dari susunan bangunan di kompleks Sunan Giri.

Candi bentar besar tingginya diperkirakan 6 meter, dan candi bentar kecil diperkirakan 2 meter. Candi bentar kecil merupakan pintu masuk ke pemakaman tingkat paling tinggi, yaitu tingkat ke-7. Di belakang candi bentar kecil terdapat pintu masuk ke makam berbentuk candi yang pintunya tembus tetapi beratap. Pada zaman Hindu bangunan ini disebut paduraksa, sedang pada bangunan-bangunan Islam dikenal sebagai kori agung.

Dilihat dari fungsinya, maka kori agung merupakan pintu masuk ke kelompok bangunan yang tersakral sebagai bangunan utama, sedang gapura candi bentar sebagai pintu masuk dari keseluruhan suatu kompleks. Masjid Sunan Giri memiliki pintu masuk ke dalam kompleks masjid yang berbentuk padaraksa. Kompleks bangunan makam Sunan Giri dikelilingi tembok di sebelah kanan kiri kori agung tingginya sekitar 1 meter, dibuat agak lebih tinggi dari tembok yang mengelilingi komplek makam utama. Dinding penyekat inipun diberi jalan masuk yaitu kori agung dari arah masjid. Kori agung untuk masuk ke makam Sunan Giri pada bagian selatannya kira-kira 2 meter lebih tinggi dari candi bentar kecil di mukanya. Untuk masuk makam utama yang juga melewati candi bentar kecil dan kori agung yang terletak pada bagian lahan yang lebih tinggi.

Candi bentar yang digunakan sebagai pintu gerbang bangunan suci Hindu ternyata juga ditradisikan pada zaman Islam. Tradisi penggunaan bangunan candi bentar pada jaman Islam terus berlanjut di berbagai tempat, seperti; kompleks Sendang Duwur, Sunan Drajat, Bayat, dan kompleks masjid/makam Kuthagedhe. Baik candi bentar dari zaman sebelum dan sesudah Islam memiliki makna sama yaitu sebagai gambaran atau replika gunung Mahameru. Candi bentar di Jawa selain digunakan sebagai pintu gerbang di kompleks makam-makam Islam di juga digunakan sebagai pintu gerbang di Bali kuno, yaitu untuk masuk ke suatu bangunan suci, secara fisik juga merupakan gambaran suatu gunung yang dibelah dua. Susunan gapura untuk memasuki suatu tempat suci terdiri dari candi bentar dan kori agung menggambarkan suatu kompleks bangunan suci terlukis pada relief dari candi Trowulan. Lukisan tersebut menunjukkan banyak persamaan dengan susunan gapura candi bentar dan kori agung di sebelah selatan jalan masuk menuju makam Sunan Giri.

Jika pada kompleks Giri di muka gapura paduraksa (kori agung) terdapat candi bentar kecil tetapi pada gambar relief Trowulan tersebut tidak ada, namun tiap tingkatan halaman masing-masing baik di Giri maupun relief tersebut sama-sama disekat oleh tembok pemisah. Bentuk bangunan candi bentar dan susunannya pada komplek Sunan Gin merupakan kelanjutan dari bentuk gapura candi bentar dari zaman sebelum Islam. Apabila kori agung berfungsi sebagai jalan untuk memasuki bangunan tersuci maka gapura candi bentar adalah pintu masuk bagian luar bangunan suci tersebut.

c. Makam

Bangunan-bangunan makam utama terletak pada tingkatan yang tertinggi dari pemakaman di Giri. Kelompok utama makam Giri meliputi sebidang tanah luasnya kira-kira 80 x 75 meter dikelilingi oleh tembok. Bangunan induk dari kelompok makam utama adalah makam Sunan Giri. Makam itu terletak dalam suatu bangunan yang dinamakan cungkup atau joglo. Lokasi cungkup Sunan Giri berada di tengah kompleks makam utama. Dalam cungkup tersebut terdapat makam Sunan Giri, Dewi Murtasiah dan Dewi Ragil. Di sebelah barat cungkup Sunan Giri terdapat cungkup kecil makam dari Sunan Sedomargi. Di sebelah baratnya lagi bangsal berbentuk cungkup memanjang. Di sini dimakamkan: Sunan Dalem, Sunan Tengah, Pangeran Kidul, Sunan Kulon (nama masing-masing terdapat pada batu nisan). Di sebelah timur cungkup Sunan Giri juga terdapat cungkup makam lainnya. Di samping itu masih banyak makam yang terdapat pada kelompok makam utama. Uraian seni bangunan makam dititik beratkan pada bangunan-bangunan pada makam Sunan Giri.

Cungkup makam Sunan Giri terdiri atas tiga bagian, fundamen, tubuh dan atap cungkup. Fundamen (kaki) cungkup setinggi ±½ meter dihiasi dengan ragam hias sulur-sulur daunan melingkar. Tubuh cungkup ditutup oleh dinding-dinding kayu diukiri dengan relief tumbuh-tumbuhan, motif-motif teratai, gunung-gunung dan bunga. Dinding cungkup terdiri dua bagian, yaitu dinding bagian luar, dan dinding bagian dalam. Dinding dalam menutup bangunan (jirat makam) di luar dinding luar terdapat ruangan tempat orang melakukan ziarah kubur dan berdoa. Berdasarkan pemberitaan Babad Gresik dinding luar makam Sunan Giri yang sekarang ini bukanlah yang asli, melainkan karya restorasi yang dilakukan oleh Sunan Prapen, cucu Raden Paku (1545-1625). Adapun dinding cungkup yang asli kemudian digunakan sebagai dinding pada cungkup makam Sunan Prapen.

C. Ragam Hias

Ragam hias yang umum pada candi-candi di Jawa Timur adalah Kala Makara yang biasanya berada di atas ambang pintu. Hiasan ini dimaksudkan sebagai penjaga bangunan dari roh jahat. Selain itu hiasan yang lain berupa Naga.

1. Candi Jawi

Ragam hias pada candi Jawi berbentuk Kala Makara khas Jawa Timur, yaitu Kala (Banaspati) yang menghias bagian bagian atas ambang pintu, dengan makara di ujung pipi tangga. Ciri kala makara khas Jawa Timur adalah berbentuk muka yang tidak berdagu. Berbeda dengan makara Jawa Tengah yang berdagu, tidak hanya terdapat di ambang pintu, tetapi terdapat juga di atas ketiga bagian luar candi di sisi utara, selatan, dan barat. Berbeda dengan makara di Jawa Tengah yang pada umumnya berbentuk gambar ikan, burung, dan lain-lain, pada candi Jawi makaranya berbentuk singa bertanduk.

Di sisi utara terdapat ragam hias relief yang menggambarkan keseluruhan bangunan yang terdapat di dalam kompleks candi Jawi. Relief yang dipahatkan di bagian selatan dan barat menggambarkan tokoh-tokoh wanita dan punakawan. Isi ceritanya juga sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Kecuali kakawin Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa candi Jawi bersifat Siwa-Budha. Juga dalam arsitekturnya menunjukkan sifat gandanya, yaitu puncaknya bersifat tingkat dua, bagian bawah berbentuk kubus, dan bagian atas berbentuk stupa.

2. Candi Singosari

Pada ambang atas pintu masuk ruang utama, ruang utara„ ruang timur, dan ruang selatan, terdapat hiasan Kepala Kala atau Banaspati (Raja Hutan). Hiasan Muka Kala ini disebut Kirtimuka, yaitu muka untuk tempat suci. Hiasan di Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tetapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan adanya peperangan, yaitu serangan Raja Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singosari yang terjadi tahun 1292.

3. Candi Penataran

Pada ba­gian mahkota candi Angka Tahun nampak hiasan yang meriah. Pada masing-ma­sing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seper­ti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimak­sudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke kompleks percandian.

Pada masing-masing dinding tubuh candi naga masih dihias dengan model-model bulatan yang disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang meng­gambarkan kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis binatang dan burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat diungkapkan.

4. Sendang Dhuwur

Ragam hias dapat kita temui di sekitar makam, terutama pada gapura. Pahatan pada gapura E terlihat sulur-sulur yang sesungguhnya menggambarkan kepala burung garuda dengan paruhnya melengkung. Pada gapura B tampak bahwa puncaknya merupakan mahkota burung garuda. Hiasan di atas gapura B terdapat Kala yang dihubungkan dengan lengkung makara ke bawah ambang pintu. Di atas kepala Kala terdapat lukisan pohon yang bercabang-cabang yang di dalam agama Hindu disebut pohon hayat atau pohon pengharapan, pohon yang mengabulkan segala keinginan. Dalam agama Islam dikenal dengan pohon syajarotul khuldi, pohon surge yang penuh dengan emas permata yang diselubungi sinar Allah.

5. Sunan Giri

Pintu masuk pada cungkup makam dan candi bentar mempunyai ragam hias yang sama, yaitu ragam hias naga. Dalam kepercayaan di Nusantara, naga selain dianggap sebagai binatang suci, juga memiliki makna yang memiliki pengaruh sangat dalam kehidupan kerokhanian pada zaman itu. Oleh karena itu wajar bila kehidupan masyarakat dengan karya ciptanya juga sangat kuat dipengaruhi oleh lambang atau simbol-simbol tertentu seperti keris, pusaka, dan tempat-tempat suci, seperti candi Naga di Panataran, dan Pura Kehen di Bali. Sehubungan dengan itu diduga kompleks Giri merupakan situs sakral sebelum Islam, kemudian tradisi penggunaannya diteruskan masyarakat setelah mengalami islamisasi.

Kontinuitas tersebut karena makna-makna berbagai unsur artefak dari zaman lama itu bersesuaian dengan ajaran Islam, tentang kesucian, keabadian, dan kehidupan dunia yang fana dari zaman sebelum Islam sejiwa dengan ajaran Islam. Dengan demikian berbagai unsur budaya lama seperti relief, bentuk bangunan, bentuk ragam hias, lay out suatu situs secara tradisional pembangunan dan pemanfaatannya terus berlangsung karena peninggalan-peninggalan tersebut itu memiliki kesamaan makna, khususnya dengan unsur-unsur ajaran tasawuf, yaitu kesucian dan keabadian. Bangunan-bangunan kepurbakalaan Islam lainnya yang berasal dari zaman sebelumnya di antaranya ialah kompleks Sendang Duwur dan kompleks Sunan Bonang di Tuban.

Atap cungkup makam Sunan Giri berbentuk atap tumpang dengan bersusun tiga, dibuat dari sirap (kayu). Atap yang terbawah tampak sangat masif, berbeda dengan atap yang menumpang di atasnya terlihat lebih meninggi, sedang atap teratas berbentuk limas (piramid) lebih tajam menjulangnya. Keempat bubungannya bertemu pada titik di atas puncak yang kemudian ditutup oleh penutup yang disebut mustoko.

Keempat hubungan tersebut terdapat ukiran ikal-ikalan yang lengkungnya menonjol keluar sehingga terkesan seperti air berombak. Pada “mustoko” yang berbentuk bulat, keempat bubungannya diakhiri dengan ragam hias daun bergerigi tiga menempel pada mustoko, sedang bagian bawahnya diakhiri dengan ukiran yang kemudian membentuk lengkungan keluar. Bangunan berbentuk cungkup atau joglo tampaknya telah menjadi salah satu tipe bangunan suci yang lazim dipakai masyarakat pada zaman itu, seperti atap pada candi Jago dan candi Bayalango di Tulungagung. Relief yang juga melukiskan bentuk bangunan suci berbentuk cungkup seperti di Sunan Giri terdapat pula pada candi Tigawangi.

Jirat makam Sunan Giri dibuat dari batu putih sisi sebelah selatan bentuknya tersusun dari pelipit bawah sebagai dasar jirat, di atasnya terdapat bidang persegi empat agak tinggi sebagai tubuh jirat. Di atas tubuh jirat ditutup dengan pelipit yang lebih besar daripada pelipit bawah, dan pita-pita kecil yang makin ke atas makin kecil sebagai landasan tempat batu nisan. Nisan makam Sunan Giri bila dilihat dari arah selatan seperti sebatang persegi empat, namun dua sudut bagian atas berbentuk lonjong, sedang sisi atasnya dibuat seperti kurawal menghadap ke bawah. Bagian bawah dihiasai ragam hias antevik. Tinggi jirat dan nisan ±1,10 meter. G.F.Pijper dalam Minaret in Java menyatakan bahwa cungkup pada makam Sunan Giri, mempunyai tipe sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa kuno, memiliki struktur atau susunan yang sama dengan bentuk tubuh candi, terdiri dari soubasemen, (kaki), tubuh candi, dan atap.

Candi atau cungkup sebagai gambaran gunung seringkali juga dihiasi dengan relief­-relief tumbuhan, hewan, manusia dan sebagainya. Atap cungkup yang terdiri dari beberapa tingkat, pada puncaknya dimahkotai oleh ragam hias yang khusus, berasal dari periode sebelum Islam yang sampai sekarang masih terus terpakai sebagai atap meru di Bali.

D. Fungsi Bangunan

Fungsi candi-candi di Jawa timur bisa berupa pemakaman, pemujaan dan juga tempat penyimpanan pusaka kerajaan.

1. Candi Jawi

Para ahli purbakala mula-mula menganggap bahwa candi Jawi adalah sebagai makam. Pandangan ini dilontarkan oleh Raffles dalam bukunya “History of Java” pada tahun 1817. Pandangan Raffles bahwa candi adalah tempat pemakaman itu diterima dan dikembangkan oleh penulis-penulis selanjutnya, seperti; van Hoevel, Drumund, Leemans, Veth, Yzerman, Groeneveldt, Stutterheim dan lain-lain. Dr. W. F. Stutterheim (ahli purbakala kebangsaan Belanda) mengemukakan bahwa candi adalah monument pemakaman, dimana abu jenazah seseorang raja disimpan di sebuah peti batu (peripih) yang kemudian ditempatkan di dalam sumuran (perigi) yang terdapat di dalam bilik candi. Di atas sumuran itu kemudian didirikan arca perwujudan raja, bentuknya disesuaikan dengan agama yang dianut sang raja semasa hidupnya. Dengan mencermati pendapat-pendapat tersebut di atas, maka menurut kakawin Negaraketagama, candi Jawi yang disebut Jawa-Jawa, kadang-kadang disebut juga sebagai dharma, candi, sucandi. Menurut Dr. R. Soekmono bahwa candi Jawi bukanlah tempat pemakaman abu jenazah raja Kertanegara, melainkan sebagai tempat pendharmaan raja Kertanegara.

2. Candi Singosari

Banyak yang menganggap bahwa Candi Singosari merupakan makam raja Kertanegara, yaitu rasa terakhir Kerajaan Singosari. Mungkin Candi Singosari dapat dihubungkan dengan Raja Kertanegara, tetapi sebagai makam atau tempat menyimpan abu jenazah Raja Kertanegara sangat diragukan dan tidak dapat dibuktikan.

Menurut kebiasaan dalam agama Hindu, apabila raja meninggal dunia, jenasahnya dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai atau ke laut, atau ditebarkan di penjuru mata angin. Setelah itu dibuatkan tempat pendharmaannya, yaitu suatu bangunan peringatan sebagai tempat pemujaan bagi arwahnya, pada umumnya orang menyebut "Candi". Di dalam candi terse­but, tepatnya sumuran. Di dalam sumuran itu diletakkan Garbhapatra, yaitu sebuah bejana bersegi dari batu yang dikotak-kotak berlubang 9 sampai 25. Di dalamnya diletakkan peripih. Peripih adalah bermacam-macam benda dari logam, batu, biji-bijian, dan tanah. Di Candi Singosari tidak ditemukan kotak batu tempat menyimpan peripih. Keanehannya, bahwa Candi Singosari tidak mempunyai sumuran tempat menyimpan Garbhapatra.

Berdasarkan uraian di atas, fungsi Candi Singosari lebih sesuai sebagai tempat pemujaan. Pemujaan tersebut ditujukan kepada Desa Siwa, karena sistem mandala yang terlihat apda Candi Singosari berdasarkan arca-arcanya adalah Candi Hirndu. Apakah Siswa disini diwujudkan sebaga Siwa Bhirawa atau dalam pewujudan lain. Di dasar lantai ruangan utama, dibawah pedestal (landasan) terdapat saluran air yang menuju ke utara. Fungsi dari saluran tersebut adalah apabila orang melakukan upacara keagaman di Candi Singosari, orang harus membasuh arca dengan air yang sudah dimantrai oleh Brahmana.

3. Candi Penataran

Menurut orang-­orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian Pa­nataran, fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di daerah Bangli-Bali sebagai tempat untuk menyimpan milik dewa-dewa. Barangkali lebih tepat kalau Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klung­kung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan per­talian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Pura ini kecuali ber-fungsi sebagai pemujaan kerajaan Klungkung juga diper­gunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktiau). senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-benda milik kerajaan Majapahit. Untuk keperluan pe­masupatihan tidak perlu dibawa ke Bali.

4. Sendang Dhuwur dan Sunan Giri

Sendang Dhuwur dan Sunan giri adalah tempat umat Islam berziarah. Maksud ziarah ialah untuk mengenangkan kebesaran Tuhan dan memanjatkan doa agar arwah itu mendapat karunia-Nya. Akan tetapi ternyata ziarah itu kemudian justru menjadi saluran untuk meneruskan kebiasaan lama, sehingga apa yang sebenarnya dilarang dalam Islam, yaitu pemujaan sesuatu selain kepada Allah kemudian menjadi bagian dari kehidupan rohani sehari-hari. Leluri itu terutama ditunjukan kepada orang yang mempunyai kedudukan lebih dengan manusia biasa, misalnya kepada Sunan Giri. Dalam perilaku ini maka orangpun tujuan utamanya minta berkah, selamat, panjang umur, minta rezeki dan sebagainya, tidak langsung kepada Tuhan, melainkan dengan perantaraan (Arab: washilah) arwah wali yang bersangkutan. Dalam pikiran ini digambarkan bahwa posisi Allah sedemikian tinggi dan demikian jauhnya dari manusia, sehingga diperlukan perantara atau washilah dari mereka yang dianggap sudah dekat dengan-Nya. Kelebihan-kelebihan itu dipercaya sebagai petunjuk bahwa wali-wali tersebut telah mencapai derajat dekat dengan Allah (Arab: muqarrabin).

E. Relief-relief

Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya ber­pahatkan relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan bath merah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak.

Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti wayang, berbeda dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau realistik dalam arti mendekati bentuk model yang sebenarnya Dengan melalui.visuali­sasi relief-relief ini nenek moyang kita atau para seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan-pesan tetsebut dapat berupa cerita yang di dalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya.

Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan tidak mustahil bila diantara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes sosial yang tedadi pada zaman­nya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita dapat melihat gambaran sebagaian dari kejadian-kejadian yang ter­jadi di masa lalu, tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, ten­tang model-model bangunan, tentang berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu itu. Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah. jarum jam yang juga disebut pradaksina dan juga dapat kebalikan­nya yakni bertentangan dengan arah jarum jam yang disebut pra­ sawny.

1. Candi Jawi

Seni atau ragam hias yang berbentuk relief terdapat di bagian tubuh kaki candi. Ragam hias ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan candi Panataran, namun cerita yang digambarkan di tubuh kaki candi Jawi hingga saat ini belum diketahui.

2. Candi Singosari

Hiasan di Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tetapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan adanya peperangan, yaitu serangan Raja Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singosari yang terjadi tahun 1292.

3. Candi Penataran

Di komplek percandian Panataran relief-relief dipahatkan pada din­ding candi, pada bagian belakang area dwaraphala dan juga pada dinding kolam.. Relief-relief yang terdapat di dinding pendopo teras pada bidang atau atau panil-panil tertentu di bagian atasnya ter­dapat tulisan singkat dalam huruf Jawa Kuno yang diduga me­rupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang seharusnya digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca rnemang sesuai dengan adegan yang dilukiskan dalam relief ter­sebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini juga terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandiarr Panataran yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini.

Relief pertama adalah Sang Setyawan. Lokasinya pada dinding sisi timur bangunan Pandopo Teras. Urutan adegan Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri dari sekitar 18 panil. Ceritanya tentang Seorang penduduk kahyangan ber­nama Sang Satyawan seseorang yang diki­sahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan se­tia sehingga bersedia mengerjakan segala perkerjaan sampai pekerjaan yang dipan­dang hina sekalipun. Pada suatu ketika Sang Setyawan mengha­dap di kerajaan Puspa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Se­tyawan sehingga dengan senang hati ia men­jodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri. Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri bersama abdinya yang bernama Su­citta mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya datang dari kejauhan, Sang Setya­wan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan harimau untuk membuat Suwistri takut. Ternyata Suwistri tenang-tenang sa­ja. Begitu juga sewaktu digoda oleh pertapa­-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka jatuh cinta pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian men­ciptakan sebuah pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cili­murti. Suwistri kemudian dijadikan pertapa dan di­beri pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan. Setelah selesai menuntut pela­jaran tersebut kemudian ia menjadi satu de­ngan Cilimurti yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya. Akhirnya diketahui bah­wa anaknya telah bersatu dengan Sang Hyang Wenang. Raja Jayati bersama istri­nya kemudian mengikuti jejak anaknya un­tuk menjadi pertapa. Atas perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan un­tuk menuju ke gunung Meru, raja Jayati di bagian Timur sedangkan Dewayani di bagian Barat.

Relief yang kedua adalah Sri Tanjung. Lokasinya berada di dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan Pandopo Teras. Urutan adegan prasawya, dimulai dari dinding sebelah ka­nan tangga masuk sebelah selatan. Relief ini menceritakan Pangeran Sidapaksa, salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi pada prabu Sulakrama di negeri Sindu­rejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas. Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik dan rupawan. Kecantikan Sri Tan­jung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuatyang tidak senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapak­sa dengan diutus kekahyangan dengan mak­sud supaya dibunuh para dewa sesuai de­ngan bunyi surat yang dibawakannya. Me­mang dikahyangan, Sidapaksa sempat diha­jar oleh para dewa dan hampir saja dibu­nuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa me­nyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari kahyangan dengan selamat. Sementara Si­dapaksa berangkat ke kahyangan prabu Su­lakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil. Merasa malu ke­mudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakan bahwa selama ia pergi kekahya­ngan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh. Diceritakan dalam per­jalanan ke alam alwah roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninaaJ maka oleh sang betari ia dihidupkan kem­bali. Sri Tanjung kernudian kembaii ke Desa Prangalas. Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah sebagaimana diucapkan sesaat sebelum me­renggang nyawa, menjadi sakit saraf dan harjpir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri Tan­jung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama. Pel•­mintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan ke­pala sang prabu dijadikan alas kaki (keset) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.

Relief yang ketiga adalah Bubuksah-Gagang Aking. Lokasinya pada dinding Pendopo Teras sebelah timur. Urutan adegan Prasawya, dari kiri ke kanan. Cerita adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama Bubuksah dan Ga­gang Aking. Kedua bersaudara tersebut ber­tapa untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam me­laksanakan "laku", Bubuksah makan segala makanan sehingga badannya gemuk se­dangkan Gagang Aking menjauhi makan mi­num sehingga menjadi kurus kering. Pada suatu ketika Betara Guru mengutus Kalawjjaya yang sebenarnya juga seorang dewa yang menyamar sebagai harimau putih untuk menguji kedua kakak beradik terse­but. Kalawijaya mengatakan menginginkan daging manusia, ketika permintaan ini dis­ampaikan ke Gagang Aking serta merta dito­laknya dengan alasan tak ada gunanya me­makan dirinya yang kurus itu. Sedangkan Bubuksah menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih karena di­rinya dlam menja_1?nkan laku juga memakan segala jenis n:akanan dan juga binatang-bi­natang. Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya, Bubuksah di­nyatakan lulus dalam ujian. Setelah me­ninggal rokh Bubuksah didukung di atas tu­buh harimau tersebut semnt,ara Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja. Relief Bubuksah-Gagang Aking dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya di Candi Surowono yang terletak di daerah Pa­re, Kediri dan di Candi Gambar Wetan yang terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.

Relief yang lain adalah Ramayana (Hanoman Duto. Lokasinya pada dinding teras pertama Candi Induk, mengelilingi dinding teras. Urutan adegan Prasawya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat terus melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara, jumlahnya sekitar 91 panil. Cerita Singkatnya adalah Hanoman salah satu pimpinarn kera keper­cayaan Sugriwa pada suatu ketika diutus ke Alengka tempat istana Rahwana untuk men­cari Sita. Dengan jalan mendaki gunun ; ke­mudian menyeberangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian se­telah keadaan memungkinkan ia menye­linap ke dalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama. Sewaktu ke luar istana Hanoman kepergok penjaga istana sehingga terjadilah perkelahian. Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini kemudiarn dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan dikirim, pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak Ran­wana sampai patah tangannya. Pasukan berikutnya dipimpin oieh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah berantai). Dengan panah ini Hanoman berhasil dibelenggu, ekornya dibungkus kain kemudian dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta­ronta, dengan bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan. Dal amkeadaan terbakar ekomya ia melompat kian kemari, melompat ke atas bumbungan rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana menjadi gempar, sebelum maninggalkan tempat Hanoman sempat berpamitan kepada Sita. Hanoman kemudian lapor kembali ke Rama dan Laksmana. Sugriwa diperintahkan untuk menge­rahkan pasukan kera Dengan menembok samodra pasukan kera berhasil membuat jembatan menuju ke Alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh Sugriwa, Laksmana, dan Rama menyerang Alengka. Korban banyak berjatuhan di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Laks­mana berhasil memanah Kumbokarno se­hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa­sisa pasukan.

Relief Kresnayana (Noroyono Maling) terletak pada dinding teras kedua Candi Induk. Urutan adegan, Pradaksina, dari kanan terus ke kiri. Cerita Singkatnya tentang Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah dipertunangkan de­ngan Suniti raja dari negeri Cedi. Partuna­ngan ini tidak disetujui oleh ibu Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodoh­kan dengan Kresna. Ibu Rukmini berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Se­waktu perkawinan akan berlangsung Ibu Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini ke luar istana menuju pintu gerbang Sri Ma­nganti, kemudian disambut oleh Kresna un­tuk dibawa lari. Suasana istana gempar, ter­jadilah pertempuran antara kedua belah pi­hak. Dalam pertempuran ini Rukmu adik Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya adiknya tidak dibunuh. Kres­na dan Rukmini kemudian pergi ke Dwa­rawati, mereka hidup bahagia.

Relief Pemburu yang tertipu terletak pada dinding sisi utara kolam berangka tahun dan jugr di bagian belakang arca penjaga sehelah kiri tangga utara Candi Induk. Urutan adegannya Prasawya, dari kiri terus ke kanan, yang di bagian belakang arca dwaraphala candi in­duk hanya suatu adegan. Cerita Singkatnya tentang seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-ku­ra. Seekor kancil yang konon merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan perha­tian pemburu kepadanya. Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ke tanah dan beralih mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak belu­kar. Kancil larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Relief kura-kura yang sombong terletak pada dinding kolam berangka tahun, dinding sisi barat. Urutan adegannya dari kanan terus ke kiri, letak panil hamper di bagian tengah dinding. Cerita Singkatnya adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering. Maklumlah se­dang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk menolong­nya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang di­gigit oleh burung belibis, kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan, burung belibis berpesan kepada kedua kura-kura untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan. Namun amanat burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan, mulut kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang digigitnya, sehingga keduannya ja­tuh ke tanah dan menjadi santapan lezat ka­wanan serigala.

Relief yang terakhir adalah lembu dan buaya yang terletak pada dinding kolam berangka tahun pada dinding bagian barat, juga terdapat pada bagian be­lakang arca dwaraphala bertahun 1269 Sa­ka yang terletak di sebelah kanan tangga n:acuk bangunan candi induk sisi utara. Urutan adegan, Dari kiri terus ke kanan. Cerita Singkatnya tentang seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu tempat yang berlubang sehingga masih sempat menye­lamatkan diri tidak sampai mati. Seekor lem­bu jantan sedang lewat di depannya kemu­dian dimintainya pertolongan. Lembu jantan tidak keberatan dan berhasil mengang­kat pohon yang tumbang tersebut. Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya. Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung) lembu digigitnya. Karena terasa sakit, maka terjadilah perkelahian. Lembu jantan hampir kalah karena laut bu­kan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit perkara (tidak digambarkan dalam relief. Buaya dikemba­likan ke tempat semula sewaktu kerobohan pohon dan kemudian ditinggalkan sendirian. Buaya tinggal menunggu ajalnya saja.

  1. Kesimpulan

Bentuk bangunan Candi di Jawa Timur berbentuk ramping tinggi, tidak seperti candi-candi di Jawa Tengah yang umumnya berbentuk gemuk pendek (tambun). Candi-candi tersebut biasanya terbuat dari batu bata adhesit. Ciri bangunan candi menunjukkan percampuran budaya Hindu dan Budha. Ciri candi Hindu-Budha ini masih dipertahankan saat Islam masuk ke Pulau Jawa. Kompleks pemakaman wali yang menjadi satu masjid masih menunjukkan ciri-ciri Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan, ragam hiasnya serta relief yang mampunyai banyak kesamaan dengan candi-candi Hindu-budha.

Ragam hias yang umum pada candi-candi di Jawa Timur adalah Kala Makara yang biasanya berada di atas ambang pintu. Kalamakara ini biasa disebut sebagai banaspati. Hiasan ini dimaksudkan sebagai penjaga bangunan dari roh jahat. Selain itu hiasan yang lain berupa Naga yang dianggap sebagai hewan suci. Hiasan teratai dan daun juga menghiasi makam-makam wali.

Fungsi candi Jawi dan candi Singosari adalah sebagai tempat pendermaan atau tempat pemujaan dan bukan sebagai pemakaman. Sedangkan fungsi candi naga di kompleks candi penataran sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Selain itu fungsi makam wali adalah sebagai tempat ziarah umat islam agar mendapatkan berkah.

Relief yang ada pada candi-candi di Jawa Timur berbentuk pipih. Dengan melalui.visuali­sasi relief-relief ini nenek moyang kita atau para seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan-pesan tetsebut dapat berupa cerita yang di dalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya.

A. Pendahuluan

Observasi dimulai dari candi jawi yang terletak Candi Jawi terletak di Tretes, termasuk dalam wilayah administratif desa Wates kecamatan Prigen, kabupaten Pasuruan, provinsi Jawa Timur. Candi ini berada pada ketinggian 285 meter di atas permukaan laut. Pada arah selatan tampak lereng bukit Arjuna. Perjalanan observasi selanjutnya adalah Candi Singosari, candi ini berada di Jalan Kertanegara Desa Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Dari Kota Malang ± 10 Km ke arah utara. Dari kota Surabaya ± 88 Km ke arah selatan. Kemudian observasi dilanjutkan pada Lokasi bangunan terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Pana­taran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur. Untuk sampai di lokasi percan­dian dapat ditempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu ke arah Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota Blitar sampai lokasi diperkirakan 12 km. Observasi kemudian dilanjutkan ke Kabupaten Lamongan Jawa Timur, tepatnya di puncak gunung Amintuno desa Sendangduwur kecamatan Paciran, yang berada pada ketinggian 75 meter dari permukaan laut. Observasi yang terakhir pada Di kabupaten Gresik, tepatnya di atas punggung bukit Giri, terletak kompleks makam seorang wali yang termasyhur dari wali sanga, yaitu Sunan Giri.

Observasi ini dilakukan dengan menerapkan metode CTL yaitu Construtivist Teaching Learning. Dalam metode ini observer melakukan inquiry atau penyelidikan. Dengan membentuk kelompok, observer melakukan penyelidikan langsung terhadap fenomena-fenomena yang di temui pada lokasi candi-candi dan makam wali yang dikunjungi. Disana mereka melihat dan menemukan secara langsung hal-hal yang menarik sekaligus penting untuk di observasi. Hal-hal yang penting untuk diobservasi adalah bentuk bangunan, ragam hias, fungsi bangunan dan bentuk relief.

Dalam proses penyelidikan ini, observer melakukan beberapa tahap yaitu mengidentifikasi data (identifying), mengelompokkan data (classifying), menghubungan data-data yang telah didapatkan dalam bentuk kalimat(communicating), setelah itu mencari hubungan antar data (interpretasi), dan langkah yang terakhir adalah mencari kesimpulan akhir terhadap data-data yang diperoleh (conclusion).

B. Seni Bangunan

Candi di Jawa Timur berbentuk ramping tinggi, tidak seperti candi-candi di Jawa Tengah yang umumnya berbentuk gemuk pendek (tambun). Candi-candi tersebut biasanya terbuat dari batu bata adhesit. Ciri bangunan candi menunjukkan percampuran budaya Hindu dan Budha. Ciri candi Hindu-Budha ini masih dipertahankan saat Islam masuk ke Pulau Jawa. Kompleks pemakaman wali yang menjadi satu masjid masih menunjukkan cirri-ciri Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan, ragam hiasnya serta relief yang mampunyai banyak kesamaan.

1. Candi Jawi

Candi ini berukuran tinggi 24,50 m, panjang 14,20 m, dan lebar 9,50 m. Bangunan ini berdiri di atas sebuah batur (tanah yang ditinggikan) dan dikelilingi oleh pagar halaman yang sangat luas. Candi Jawi berdenah bujur sangkar dengan menampilkan empat sisinya. Keunikan dari candi Jawi adalah bangunan ini dikelilingi oleh sebuah kolam yang berukuran panjang 54 m, lebar 3,50 m, dan dalam 2 m, yang keseluruhannya terbuat dari batu bata dengan ketebalan tembok kolam 0,90 m. Kolam tersebut sekarang masih berisi air dan dihiasi dengan bunga teratai sebagai lambing keabadian.

Struktur bangunan candi Jawi secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki (subasemen), badan (tubuh), dan atap (puncak). Bagian kaki candi menunjukkan sifat bangunan agama Siwa, sedangkan puncaknya menunjukan sifat bangunan agama Budha. Bagian tubuh candi hanya memiliki sebuah ruangan yang terletak di bagian tengah dengan pintu masuk dari arah timur. Kamar ini tampak kosong, tidak berisi arca tetapi berisi lingga, dan yoni. Di sisi tubuh candi terdapat relung-relung yang berisi arca, namun sekarang relung-relung itu kosong. Relung-relung itu sebenarnya berisi arca-arca; Ardhanari, Durga, Siwa, Guru, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara. Bagian puncak candi berbentuk segi empat, makin ke atas semakin kecil dan puncaknya berbentuk dagoba (stupa) sebagai ciri bangunan beragama Budha.

2. Candi Singosari

Seperti candi Jawi, candi Singosari juga dibagi menjadi tiga bagian yaitu batur candi atau teras, kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi.

a. Batur candi atau teras.

Batur atau teras tersebut dapat dinaiki dari arah barat melalui sebuah tangga buatan. Dahulu tangga aslinya ada dua, dan terdapat di kanan kiri penampil batur yang menjorok lebih ke barat di depan pintu masuk ruang utama. Sayang bahwa teras yang menjorok tersebut batu-batunya tidak di temukan kembali, sehingga tidak dapat dipasang lagi sebagaimana mestinya untuk mengetahui posisi dari jorokan dan tangga masuk tersebut.

b. Kaki Candi

Di kaki candi terdapat ruang utama di tengah, serta lima ruang yang mengelilingi. ruang-ruang tersebut sekarang kosong tanpa arca kecuali ruang sisi selatan yang berisi arca Siwa Guru. Arca-arca candi Singosari ini diambil dan diangkut ke Belanda tahun 1819 yang selajutnya ditempatkan di Museum Leiden. Begitu kita berada di muka pintu utama, pada kanan dan kiri pintu masuk terdapat di ruang pengapit yang lebih kecil ruang sebelah utara pintu masuk dahulu ditempati arca Mahakala Sedangkan ruang sebelah selatan dahulu ditempati arca Nandicwara.

Di dalam ruang utama, terdapat sebuah pedestal (landasan) yang rusak dari arca atau lingga. Landasan arca adalah Siwa Bhairawa. Arca tersebut mempunyai ukuran tinggi : 1,67 meter, lebar: 0,78 meter, dan dalam: 0,60 meter. Sedangkan permukaan pedestal berukuran ±1 meter persegi, sehingga memungkinkan arca sebesar arca Siwa Bhairawa untuk berdiri diatasnya.

Ruang sisi utara ditempati arca Durga, yang sekarang sudah tidak ada ditempatnya. Durga adalah bentuk Dewi Uma Parwati (istri Siwa) dalam penjelmaannya yang bersifat Demonis (raksasa). Durga diwujudkan sebagai Durgamanisasuramardini, yaitu bentuk Durga ketika berperang melawan raksasa (asura) yang mengacau kahyangan. Durga yang bertangan 8 (delapan) dengan senjata-senjata milik para dewa menghajar raja raksasaa. Karena merasa gusar, raksasa berubah wujud sebagai lembu (mahisa). Tetapi Durga dapat mengalahkannya: Sebelum terbunuh raksasa keluar dari badan lembu, namun seketika itu juga rambut raksasa direnggut, kemudian raksasa dapat dibunuhnya.

Ruang sisi timur ditempati oleh arca dewa Ganesya yang sekarang juga sudah tidak lagi ditempatinya. Dewa Ganesya adalah putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma Parwati. Ia digambarkan anak-anak yang gemuk, perut buncit, dan berkepala gajah. Ketika Dewi Parwati sedang mengandung, ia dikejutkan oleh kendaraan Dewa Indra yaitu seekor gajah yang sangat besar yang bernama Airawata yang dibawa oleh Dewa Indra untuk mengunjungi Dewi Parwati. Karena terkejut yang amat sangat akhirnya bayi yang dikandungnya lahir, bayi tersebut berkepala gajah.

Dewa Ganesya digambarkan duduk, bertangan 4, senjata yang dibawanya kapak dan tasbih. Disamping itu tidak ketinggalan membawa mangkuk. Dewa ganesya adalah dewa ilmu pengetahuan, hal ini dilambangkan oleh belalainya yang terus menerus menghisap madu di dalam mangkuk yang dibawanya, serta perutnya yang gendut (lambodhara) juga sebagai dewa penghancur rintangan (Wigneswara) karena sifatnya itulah orang sering mohon perlindungannya dengan menyebut Om Awignam Astu.

Ruang sisi selatan berisi arca Resi Guru atau disebut juga Siwa Guru. Dalam hal ini sering arca ini dikenal dengan sebutan Resi Agastya. Arca ini sekarang masih ditempatnya. Siwa Guru adalah bentuk dewa Siwa sebagai Resi Guru, yaitu guru dari para resi. Ia digambarkan sebagai orang tua yang berjanggut dan berkumis lebat. Memakai sorban atau terkadang rambutnya disanggul, membawa tasbih dan Kendi Amerta. Pundak kiri terdapat kebut lalat (camara), sedangkan pada sisi kanan terdapat senjata Trisula. Siwa mahaguru ini ada yang menghubungkan dengan tokoh Resi Agastya, Resi Agastya dalam teogoni (asal-usul dewa) Hindu dikenal sebagai salah satu murid Dewa Siwa yang paling disayangi. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai penjelmaan Siwa di dunia. Resi Agastya dianggap pula sebagai pembawa dan penyebar agama Hindu di India Selatan dan Indonesia.

c. Tubuh candi

Pada bagian ini terdapat empat relung di masing-masing sisinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa ruang celah itu dahulu berisi arca atau memang ruang celah tersebut tidak perlu diisi arca-arca, mengingat posisi ruang celah tersebut kurang besar untuk tempat sebuah arca. Dalam sistem pantheon dari aliran Saiwa Sidhanta, alam ini dibagi menjadi tiga bagian. Ada alam Niskala (tak berwujud), tempat Paramasiwa bersemayam. Kedudukannya dialam atas. Tidak berwujud, tidak dapat dibayangkan, tetepi ada. Pada bagian candi diwakili oleh puncak. Kemudian ada alam Sakala-Niskala (alam wujud - tak berwujud). Alam ini merupakan alam antara, dan diduduki oleh Sadasiwa dengan empat aspeknya yang kesemuanya sebenarnya penjelmaan Siwa juga. Mereka itu adalah Siwa, Wisnu, Brahma, dan Maheswara. Sedangkan alarn bawah adalah alam sakala (alam wujud), yaitu bagian kaki candi yang dikuasai oleh Maheswara. Pada Candi Singosari, tubuh candi rnelambangkan alam Sakala-Niskala yaitu alam antara, Alam ini dikuasai Dewa Siwa sebagai sadasiwa dengan keempat aspeknya. Sadasiwa berada di pusat, sedangkan keempat aspeknya berada pada setiap penjuru mata angin, Siwa di barat, Wisnu di utara, Brahma di selatan, dan Maheswara di timur. Di atas ruang celah terdapat pula muka kala atau Kirtimuka yang ornamentasinya sempurna. lain dengan hiasan muka kala yang tardapat di atas pintu ruang kaki candi yang kebanyakan belum selesai.

d. Puncak Candi

Puncak candi berbentuk limas dengan atap pejal berbentuk kubus. Puncak itu sudah runtuh, begitu pula keempat puncak yang mengelilinginya, apa yang kita dapatkan sekarang adalah sebuah candi yang terkesan ramping menjulang bagian atasnya dan gemuk bagian bawahnya.

3. Candi Penataran

Candi penataran adalah sebuah kompleks percandian yang terdiri dari beberapa bagian candi yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian-bagian candi itu adalah halaman candi yang disebut Bale Agung, Pendopo Teras, Candi Angka Tahun, Candi Naga, dan Candi Induk.

a. Bale Agung

Bangunan ini terletak di bagian barat-laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, dindingnya masih dalam keadaan polos. Pada dinding sisi selatan dan juga sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur, ada dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kapala ular tersembul pada bagian sudut-sudut bangunan. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat area penjaga yang berupa arca Mahakala yang terletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi timur yang nampaknya tidak lengkap lagi. Bangunan ini berukuran panjang 37 meter, lebar 18.84 meter dan tinggi 1.44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan bale agung menurut N.J. Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda.

b. Pendopo Teras

Bangunan ini disebut juga batur pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan bale agung. Berbeda dengan bangunan bale agung yang polos bangunan pendopo teras ini dindingnya dike­lilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga pada bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur.

Seperti pada bangunan bale agung, sekelil­ing tubuh bangunan pendopo teras juga dililiti ular yang ekor­nya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.

Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, berbentuk empat per­segi panjang dengan ukuran panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,50 meter. Bangunan pendopo teras ini berfungsi sebagai tempat untuk menaruh sesaji dalam upacara keagamaan.

c. Candi Angka Tahun

Disebut Candi Angka Tahun karena di atas ambang pintu masuk ban­gunan terdapat angka tahun 1291 Saka (1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter. Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Candi Browijoyo karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Bra­wijaya. Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tum­pal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki.

Candi Angka Tahun terdiri dari bagian-bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi di­mana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan ke­mudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki.

d. Candi Naga

Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada di halaman B bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu masuk ke bilik candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada sat ini adalah hasil pemugaran tahun 1917-1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh­-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah masing-masing berada disudut-sudut bangunan di bagian tengah ketiga dinding dan di sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian mewah dengan prabha di ba­gian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan.Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan.

e. Candi Induk

Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya bangunan candi yang paling besar diantara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat dihalaman kom­pleks percandian. Lokasi bangunan terletak di bagian yang paling belakang yakni bagian yang dianggap suci. Bangunan candi induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Pada keempat sisinya kira-kira dibagian tengah masing-masing dinding terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 me­ter. Pada teras pertama dinding sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan. Teras kedua bentukrrya berbeda dengan teras pertama bagian­ yang menjorok bukan ke luar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil.

Adanya perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong di lantai teras pertama sehingga orang dapat berjalan jalan mengelilingi ba­ngunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambar­kan dalam relief. Tempat kosong ini namanya selasar. Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga. Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-din­dingnya berpahatkan arca singa hersayap dan naga ber­sayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dalam posisi ber­jongkok dan kaki depannya diangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang yang kosong juga menjadi pilaster bangunan.

Yang menarik dari lantai teras ketiga ini adalah sewaktu dia­dakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian tengah lantai teras terbuat daci bahan bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan. Berdasarkan data-data tersebut timbul dngaan bahwa bangunan asli Candi Penataran dibuat dari bahan bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan menutupinya memakai batu an­desit. Perluasan itu teijadi pada jaman Majapahit. Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan bata merah ini yang dimaksudkan dalam prasasti Palah diperlukan pe­nelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.

Dengan sampainya di lantai teras ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki candi. Di sinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian­bagian bangunan belum dapat ditemukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh candi induk belum dapat diselesaikan. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 Masehi. Di bagian belakang arca dwa­raphala ini terdapat relief cetita, relief-relief cerita juga terdapat pada dinding-dinding teras pertama dan kedua bangunan candi Induk yang nanti akan diceritakan tersendiri.

4. Sendang Dhuwur

a. Bangunan Masjid

Sendangduwur kecamatan Paciran, yang berada pada ketinggian 75 meter dari permukaan laut. Di lokasi ini dapat kita temui makam R. Noer Rochmat atau yang biasa disebut Makam Sunan Sendang, pekuburan penduduk, keluarga dan pengikut Sunan Sendang, serta bangunan Masjid. Untuk mengetahui umur masjid tersebut, dapat diketahui pada papan kecil yang terpasang pada balok serambi masjid, yang bertuliskan huruf Jawa dan memuat Candra Sangkala yang berbunyi Gunaning sariro tirto hayu yang artinya menunjukkan angka tahun 1483 Saka atau 1561 Masehi. Pada bangunan masjid yang saat ini kita lihat setelah direnovasi, terdapat tiga pintu masuk untuk bagian depan. Di setiap depan masuk bertuliskan angka tahun. Pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1421 Saka, pintu tengah 1339 Hijriyah (dengan tulisan Arab), dan pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1920 Masehi saat masjid ini direnovasi. Masjid ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali renovasi sesuai dengan tulisan yang terdapat pada salah satu papan yang ada di dalam masjid. Papan tersebut bertuliskan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang artinya “Ketahuilah bahwa masjid ini dibina dua kali, yang pertama pada tahun 1483 Jawa. Dan yang kedua pada tahun 1851 Jawa. Pada pembinaan yang kedua masih dipergunakan batu-batu dan sebagian kayu jati bangunan masjid lama.”

b. Makam

Untuk mengetahui kapan R. Noer Rochmat atau Sunan Sendang wafat dapat dilihat pada dinding makam. Oleh Dr. W.F. Stutterheim angka tersebut dibaca dari kanan ke kiri yaitu 7051. Bila dibaca dari kiri ke kanan menunjukkan 1507 Saka atau tahun 1585 Masehi.

Keistimewaan makam Sunan Sendang yaitu terdapat dua buah gapura yang sangat menarik. Gapura yang terletak di sebelah utara masjid disebut dengan Gapuro E, Sedangkan gapura yang terletak di sebelah barat masjid disebut Gapura B yang oleh penduduk disebut gapuro urung-urung. Kedua gapura tersebut puncaknya tertutup yang dikenal dengan istilah gapura paduraksa. Kalau di bali disebut pamedal agung.

Selain itu dapat pula kita jumpai sebuah lubang kecil yang berisi air di dalam halaman pemakaman. Lubang itu disebut Sumur Paidon. Letaknya tepat di depan gapura B, sebelah kiri tangga turun menuju makam. Menurut cerita, tempat ini adalah tempat peludahan R. Noer Rochmat atau Sunan Sendang.

5. Sunan Giri

Pembahasan aspek seni bangunan dititikberatkan pada bangunan makam utama dan gapura.

a. Masjid

Pembahasan bangunan masjid, diutama­kan pada masjid yang sekarang dimanfaatkan sebagai masjid wanita. Hal ini dikarenakan masjid tersebut bangunan aslinya berasal dari tahun 1544 sebagaimana tertera dalam inskripsi bagian depan masjid Ainul Yakin. Karena adanya renovasi tahun 1857 bangunan masjid yang pertama dibangun di situs Giri digeser dan dimanfaatkan khusus untuk ibadah kaum wanita. Bangunan utama masjid yang ada dewasa ini berasal dari tahun 1857 M. Sebagai ganti dari masjid yang terdahulu, yang didirikan pada tahun 1544, yaitu masa Sunan Dalem (1506-1545). Pada tahun 1960 M masjid Ainul Yakin disempurnakan hingga menjadi bangunan yang ada sekarang.

b. Gapura

Dari arah selatan, untuk masuk ke kompleks Sunan Giri tersedia jalan melalui gapura yang berbentuk candi Bentar. Lahan di lereng bukit di selatan candi Bentar merupakan tempat pemakaman. Berdasarkan perbandingan dengan kompleks Sunan Drajat, gapura candi bentar di kompleks Sunan Giri seharusnya berada pada tingkat 5 dari tingkat-tingkat di kompleks Sunan Giri. Keadaan gapura candi bentar ini sudah sangat rusak, namun pada dasarnya bangunan itu dapat dikatakan mempunyai bentuk yang sama dengan candi bentar Wringin Lawang, yaitu merupakan tipe candi Jawa Timur yang dibelah dua, dan biasanya bersayap. Bagian kiri-kanannya masih terlihat bekas-bekas kaitan tembok, sebagai petunjuk bahwa candi bentar itu dahulu memiliki sayap. Pada bagian depannya terdapat dua pilar sepanjang kira-kira 4½ m, bagian bawah pilar ini agak melengkung ke dalam. Dengan melalui jalan di tengah lebih kurang 30 meter sampailah ke candi bentar gapura (yang besar) pada tingkat 6 dari susunan bangunan di kompleks Sunan Giri.

Candi bentar besar tingginya diperkirakan 6 meter, dan candi bentar kecil diperkirakan 2 meter. Candi bentar kecil merupakan pintu masuk ke pemakaman tingkat paling tinggi, yaitu tingkat ke-7. Di belakang candi bentar kecil terdapat pintu masuk ke makam berbentuk candi yang pintunya tembus tetapi beratap. Pada zaman Hindu bangunan ini disebut paduraksa, sedang pada bangunan-bangunan Islam dikenal sebagai kori agung.

Dilihat dari fungsinya, maka kori agung merupakan pintu masuk ke kelompok bangunan yang tersakral sebagai bangunan utama, sedang gapura candi bentar sebagai pintu masuk dari keseluruhan suatu kompleks. Masjid Sunan Giri memiliki pintu masuk ke dalam kompleks masjid yang berbentuk padaraksa. Kompleks bangunan makam Sunan Giri dikelilingi tembok di sebelah kanan kiri kori agung tingginya sekitar 1 meter, dibuat agak lebih tinggi dari tembok yang mengelilingi komplek makam utama. Dinding penyekat inipun diberi jalan masuk yaitu kori agung dari arah masjid. Kori agung untuk masuk ke makam Sunan Giri pada bagian selatannya kira-kira 2 meter lebih tinggi dari candi bentar kecil di mukanya. Untuk masuk makam utama yang juga melewati candi bentar kecil dan kori agung yang terletak pada bagian lahan yang lebih tinggi.

Candi bentar yang digunakan sebagai pintu gerbang bangunan suci Hindu ternyata juga ditradisikan pada zaman Islam. Tradisi penggunaan bangunan candi bentar pada jaman Islam terus berlanjut di berbagai tempat, seperti; kompleks Sendang Duwur, Sunan Drajat, Bayat, dan kompleks masjid/makam Kuthagedhe. Baik candi bentar dari zaman sebelum dan sesudah Islam memiliki makna sama yaitu sebagai gambaran atau replika gunung Mahameru. Candi bentar di Jawa selain digunakan sebagai pintu gerbang di kompleks makam-makam Islam di juga digunakan sebagai pintu gerbang di Bali kuno, yaitu untuk masuk ke suatu bangunan suci, secara fisik juga merupakan gambaran suatu gunung yang dibelah dua. Susunan gapura untuk memasuki suatu tempat suci terdiri dari candi bentar dan kori agung menggambarkan suatu kompleks bangunan suci terlukis pada relief dari candi Trowulan. Lukisan tersebut menunjukkan banyak persamaan dengan susunan gapura candi bentar dan kori agung di sebelah selatan jalan masuk menuju makam Sunan Giri.

Jika pada kompleks Giri di muka gapura paduraksa (kori agung) terdapat candi bentar kecil tetapi pada gambar relief Trowulan tersebut tidak ada, namun tiap tingkatan halaman masing-masing baik di Giri maupun relief tersebut sama-sama disekat oleh tembok pemisah. Bentuk bangunan candi bentar dan susunannya pada komplek Sunan Gin merupakan kelanjutan dari bentuk gapura candi bentar dari zaman sebelum Islam. Apabila kori agung berfungsi sebagai jalan untuk memasuki bangunan tersuci maka gapura candi bentar adalah pintu masuk bagian luar bangunan suci tersebut.

c. Makam

Bangunan-bangunan makam utama terletak pada tingkatan yang tertinggi dari pemakaman di Giri. Kelompok utama makam Giri meliputi sebidang tanah luasnya kira-kira 80 x 75 meter dikelilingi oleh tembok. Bangunan induk dari kelompok makam utama adalah makam Sunan Giri. Makam itu terletak dalam suatu bangunan yang dinamakan cungkup atau joglo. Lokasi cungkup Sunan Giri berada di tengah kompleks makam utama. Dalam cungkup tersebut terdapat makam Sunan Giri, Dewi Murtasiah dan Dewi Ragil. Di sebelah barat cungkup Sunan Giri terdapat cungkup kecil makam dari Sunan Sedomargi. Di sebelah baratnya lagi bangsal berbentuk cungkup memanjang. Di sini dimakamkan: Sunan Dalem, Sunan Tengah, Pangeran Kidul, Sunan Kulon (nama masing-masing terdapat pada batu nisan). Di sebelah timur cungkup Sunan Giri juga terdapat cungkup makam lainnya. Di samping itu masih banyak makam yang terdapat pada kelompok makam utama. Uraian seni bangunan makam dititik beratkan pada bangunan-bangunan pada makam Sunan Giri.

Cungkup makam Sunan Giri terdiri atas tiga bagian, fundamen, tubuh dan atap cungkup. Fundamen (kaki) cungkup setinggi ±½ meter dihiasi dengan ragam hias sulur-sulur daunan melingkar. Tubuh cungkup ditutup oleh dinding-dinding kayu diukiri dengan relief tumbuh-tumbuhan, motif-motif teratai, gunung-gunung dan bunga. Dinding cungkup terdiri dua bagian, yaitu dinding bagian luar, dan dinding bagian dalam. Dinding dalam menutup bangunan (jirat makam) di luar dinding luar terdapat ruangan tempat orang melakukan ziarah kubur dan berdoa. Berdasarkan pemberitaan Babad Gresik dinding luar makam Sunan Giri yang sekarang ini bukanlah yang asli, melainkan karya restorasi yang dilakukan oleh Sunan Prapen, cucu Raden Paku (1545-1625). Adapun dinding cungkup yang asli kemudian digunakan sebagai dinding pada cungkup makam Sunan Prapen.

C. Ragam Hias

Ragam hias yang umum pada candi-candi di Jawa Timur adalah Kala Makara yang biasanya berada di atas ambang pintu. Hiasan ini dimaksudkan sebagai penjaga bangunan dari roh jahat. Selain itu hiasan yang lain berupa Naga.

1. Candi Jawi

Ragam hias pada candi Jawi berbentuk Kala Makara khas Jawa Timur, yaitu Kala (Banaspati) yang menghias bagian bagian atas ambang pintu, dengan makara di ujung pipi tangga. Ciri kala makara khas Jawa Timur adalah berbentuk muka yang tidak berdagu. Berbeda dengan makara Jawa Tengah yang berdagu, tidak hanya terdapat di ambang pintu, tetapi terdapat juga di atas ketiga bagian luar candi di sisi utara, selatan, dan barat. Berbeda dengan makara di Jawa Tengah yang pada umumnya berbentuk gambar ikan, burung, dan lain-lain, pada candi Jawi makaranya berbentuk singa bertanduk.

Di sisi utara terdapat ragam hias relief yang menggambarkan keseluruhan bangunan yang terdapat di dalam kompleks candi Jawi. Relief yang dipahatkan di bagian selatan dan barat menggambarkan tokoh-tokoh wanita dan punakawan. Isi ceritanya juga sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Kecuali kakawin Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa candi Jawi bersifat Siwa-Budha. Juga dalam arsitekturnya menunjukkan sifat gandanya, yaitu puncaknya bersifat tingkat dua, bagian bawah berbentuk kubus, dan bagian atas berbentuk stupa.

2. Candi Singosari

Pada ambang atas pintu masuk ruang utama, ruang utara„ ruang timur, dan ruang selatan, terdapat hiasan Kepala Kala atau Banaspati (Raja Hutan). Hiasan Muka Kala ini disebut Kirtimuka, yaitu muka untuk tempat suci. Hiasan di Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tetapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan adanya peperangan, yaitu serangan Raja Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singosari yang terjadi tahun 1292.

3. Candi Penataran

Pada ba­gian mahkota candi Angka Tahun nampak hiasan yang meriah. Pada masing-ma­sing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seper­ti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimak­sudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke kompleks percandian.

Pada masing-masing dinding tubuh candi naga masih dihias dengan model-model bulatan yang disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang meng­gambarkan kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis binatang dan burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat diungkapkan.

4. Sendang Dhuwur

Ragam hias dapat kita temui di sekitar makam, terutama pada gapura. Pahatan pada gapura E terlihat sulur-sulur yang sesungguhnya menggambarkan kepala burung garuda dengan paruhnya melengkung. Pada gapura B tampak bahwa puncaknya merupakan mahkota burung garuda. Hiasan di atas gapura B terdapat Kala yang dihubungkan dengan lengkung makara ke bawah ambang pintu. Di atas kepala Kala terdapat lukisan pohon yang bercabang-cabang yang di dalam agama Hindu disebut pohon hayat atau pohon pengharapan, pohon yang mengabulkan segala keinginan. Dalam agama Islam dikenal dengan pohon syajarotul khuldi, pohon surge yang penuh dengan emas permata yang diselubungi sinar Allah.

5. Sunan Giri

Pintu masuk pada cungkup makam dan candi bentar mempunyai ragam hias yang sama, yaitu ragam hias naga. Dalam kepercayaan di Nusantara, naga selain dianggap sebagai binatang suci, juga memiliki makna yang memiliki pengaruh sangat dalam kehidupan kerokhanian pada zaman itu. Oleh karena itu wajar bila kehidupan masyarakat dengan karya ciptanya juga sangat kuat dipengaruhi oleh lambang atau simbol-simbol tertentu seperti keris, pusaka, dan tempat-tempat suci, seperti candi Naga di Panataran, dan Pura Kehen di Bali. Sehubungan dengan itu diduga kompleks Giri merupakan situs sakral sebelum Islam, kemudian tradisi penggunaannya diteruskan masyarakat setelah mengalami islamisasi.

Kontinuitas tersebut karena makna-makna berbagai unsur artefak dari zaman lama itu bersesuaian dengan ajaran Islam, tentang kesucian, keabadian, dan kehidupan dunia yang fana dari zaman sebelum Islam sejiwa dengan ajaran Islam. Dengan demikian berbagai unsur budaya lama seperti relief, bentuk bangunan, bentuk ragam hias, lay out suatu situs secara tradisional pembangunan dan pemanfaatannya terus berlangsung karena peninggalan-peninggalan tersebut itu memiliki kesamaan makna, khususnya dengan unsur-unsur ajaran tasawuf, yaitu kesucian dan keabadian. Bangunan-bangunan kepurbakalaan Islam lainnya yang berasal dari zaman sebelumnya di antaranya ialah kompleks Sendang Duwur dan kompleks Sunan Bonang di Tuban.

Atap cungkup makam Sunan Giri berbentuk atap tumpang dengan bersusun tiga, dibuat dari sirap (kayu). Atap yang terbawah tampak sangat masif, berbeda dengan atap yang menumpang di atasnya terlihat lebih meninggi, sedang atap teratas berbentuk limas (piramid) lebih tajam menjulangnya. Keempat bubungannya bertemu pada titik di atas puncak yang kemudian ditutup oleh penutup yang disebut mustoko.

Keempat hubungan tersebut terdapat ukiran ikal-ikalan yang lengkungnya menonjol keluar sehingga terkesan seperti air berombak. Pada “mustoko” yang berbentuk bulat, keempat bubungannya diakhiri dengan ragam hias daun bergerigi tiga menempel pada mustoko, sedang bagian bawahnya diakhiri dengan ukiran yang kemudian membentuk lengkungan keluar. Bangunan berbentuk cungkup atau joglo tampaknya telah menjadi salah satu tipe bangunan suci yang lazim dipakai masyarakat pada zaman itu, seperti atap pada candi Jago dan candi Bayalango di Tulungagung. Relief yang juga melukiskan bentuk bangunan suci berbentuk cungkup seperti di Sunan Giri terdapat pula pada candi Tigawangi.

Jirat makam Sunan Giri dibuat dari batu putih sisi sebelah selatan bentuknya tersusun dari pelipit bawah sebagai dasar jirat, di atasnya terdapat bidang persegi empat agak tinggi sebagai tubuh jirat. Di atas tubuh jirat ditutup dengan pelipit yang lebih besar daripada pelipit bawah, dan pita-pita kecil yang makin ke atas makin kecil sebagai landasan tempat batu nisan. Nisan makam Sunan Giri bila dilihat dari arah selatan seperti sebatang persegi empat, namun dua sudut bagian atas berbentuk lonjong, sedang sisi atasnya dibuat seperti kurawal menghadap ke bawah. Bagian bawah dihiasai ragam hias antevik. Tinggi jirat dan nisan ±1,10 meter. G.F.Pijper dalam Minaret in Java menyatakan bahwa cungkup pada makam Sunan Giri, mempunyai tipe sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa kuno, memiliki struktur atau susunan yang sama dengan bentuk tubuh candi, terdiri dari soubasemen, (kaki), tubuh candi, dan atap.

Candi atau cungkup sebagai gambaran gunung seringkali juga dihiasi dengan relief­-relief tumbuhan, hewan, manusia dan sebagainya. Atap cungkup yang terdiri dari beberapa tingkat, pada puncaknya dimahkotai oleh ragam hias yang khusus, berasal dari periode sebelum Islam yang sampai sekarang masih terus terpakai sebagai atap meru di Bali.

D. Fungsi Bangunan

Fungsi candi-candi di Jawa timur bisa berupa pemakaman, pemujaan dan juga tempat penyimpanan pusaka kerajaan.

1. Candi Jawi

Para ahli purbakala mula-mula menganggap bahwa candi Jawi adalah sebagai makam. Pandangan ini dilontarkan oleh Raffles dalam bukunya “History of Java” pada tahun 1817. Pandangan Raffles bahwa candi adalah tempat pemakaman itu diterima dan dikembangkan oleh penulis-penulis selanjutnya, seperti; van Hoevel, Drumund, Leemans, Veth, Yzerman, Groeneveldt, Stutterheim dan lain-lain. Dr. W. F. Stutterheim (ahli purbakala kebangsaan Belanda) mengemukakan bahwa candi adalah monument pemakaman, dimana abu jenazah seseorang raja disimpan di sebuah peti batu (peripih) yang kemudian ditempatkan di dalam sumuran (perigi) yang terdapat di dalam bilik candi. Di atas sumuran itu kemudian didirikan arca perwujudan raja, bentuknya disesuaikan dengan agama yang dianut sang raja semasa hidupnya. Dengan mencermati pendapat-pendapat tersebut di atas, maka menurut kakawin Negaraketagama, candi Jawi yang disebut Jawa-Jawa, kadang-kadang disebut juga sebagai dharma, candi, sucandi. Menurut Dr. R. Soekmono bahwa candi Jawi bukanlah tempat pemakaman abu jenazah raja Kertanegara, melainkan sebagai tempat pendharmaan raja Kertanegara.

2. Candi Singosari

Banyak yang menganggap bahwa Candi Singosari merupakan makam raja Kertanegara, yaitu rasa terakhir Kerajaan Singosari. Mungkin Candi Singosari dapat dihubungkan dengan Raja Kertanegara, tetapi sebagai makam atau tempat menyimpan abu jenazah Raja Kertanegara sangat diragukan dan tidak dapat dibuktikan.

Menurut kebiasaan dalam agama Hindu, apabila raja meninggal dunia, jenasahnya dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai atau ke laut, atau ditebarkan di penjuru mata angin. Setelah itu dibuatkan tempat pendharmaannya, yaitu suatu bangunan peringatan sebagai tempat pemujaan bagi arwahnya, pada umumnya orang menyebut "Candi". Di dalam candi terse­but, tepatnya sumuran. Di dalam sumuran itu diletakkan Garbhapatra, yaitu sebuah bejana bersegi dari batu yang dikotak-kotak berlubang 9 sampai 25. Di dalamnya diletakkan peripih. Peripih adalah bermacam-macam benda dari logam, batu, biji-bijian, dan tanah. Di Candi Singosari tidak ditemukan kotak batu tempat menyimpan peripih. Keanehannya, bahwa Candi Singosari tidak mempunyai sumuran tempat menyimpan Garbhapatra.

Berdasarkan uraian di atas, fungsi Candi Singosari lebih sesuai sebagai tempat pemujaan. Pemujaan tersebut ditujukan kepada Desa Siwa, karena sistem mandala yang terlihat apda Candi Singosari berdasarkan arca-arcanya adalah Candi Hirndu. Apakah Siswa disini diwujudkan sebaga Siwa Bhirawa atau dalam pewujudan lain. Di dasar lantai ruangan utama, dibawah pedestal (landasan) terdapat saluran air yang menuju ke utara. Fungsi dari saluran tersebut adalah apabila orang melakukan upacara keagaman di Candi Singosari, orang harus membasuh arca dengan air yang sudah dimantrai oleh Brahmana.

3. Candi Penataran

Menurut orang-­orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian Pa­nataran, fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di daerah Bangli-Bali sebagai tempat untuk menyimpan milik dewa-dewa. Barangkali lebih tepat kalau Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klung­kung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan per­talian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Pura ini kecuali ber-fungsi sebagai pemujaan kerajaan Klungkung juga diper­gunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktiau). senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-benda milik kerajaan Majapahit. Untuk keperluan pe­masupatihan tidak perlu dibawa ke Bali.

4. Sendang Dhuwur dan Sunan Giri

Sendang Dhuwur dan Sunan giri adalah tempat umat Islam berziarah. Maksud ziarah ialah untuk mengenangkan kebesaran Tuhan dan memanjatkan doa agar arwah itu mendapat karunia-Nya. Akan tetapi ternyata ziarah itu kemudian justru menjadi saluran untuk meneruskan kebiasaan lama, sehingga apa yang sebenarnya dilarang dalam Islam, yaitu pemujaan sesuatu selain kepada Allah kemudian menjadi bagian dari kehidupan rohani sehari-hari. Leluri itu terutama ditunjukan kepada orang yang mempunyai kedudukan lebih dengan manusia biasa, misalnya kepada Sunan Giri. Dalam perilaku ini maka orangpun tujuan utamanya minta berkah, selamat, panjang umur, minta rezeki dan sebagainya, tidak langsung kepada Tuhan, melainkan dengan perantaraan (Arab: washilah) arwah wali yang bersangkutan. Dalam pikiran ini digambarkan bahwa posisi Allah sedemikian tinggi dan demikian jauhnya dari manusia, sehingga diperlukan perantara atau washilah dari mereka yang dianggap sudah dekat dengan-Nya. Kelebihan-kelebihan itu dipercaya sebagai petunjuk bahwa wali-wali tersebut telah mencapai derajat dekat dengan Allah (Arab: muqarrabin).

E. Relief-relief

Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya ber­pahatkan relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan bath merah walaupun jumlahnya tidak begitu banyak.

Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti wayang, berbeda dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau realistik dalam arti mendekati bentuk model yang sebenarnya Dengan melalui.visuali­sasi relief-relief ini nenek moyang kita atau para seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan-pesan tetsebut dapat berupa cerita yang di dalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya.

Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan tidak mustahil bila diantara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes sosial yang tedadi pada zaman­nya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita dapat melihat gambaran sebagaian dari kejadian-kejadian yang ter­jadi di masa lalu, tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, ten­tang model-model bangunan, tentang berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu itu. Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah. jarum jam yang juga disebut pradaksina dan juga dapat kebalikan­nya yakni bertentangan dengan arah jarum jam yang disebut pra­ sawny.

1. Candi Jawi

Seni atau ragam hias yang berbentuk relief terdapat di bagian tubuh kaki candi. Ragam hias ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan candi Panataran, namun cerita yang digambarkan di tubuh kaki candi Jawi hingga saat ini belum diketahui.

2. Candi Singosari

Hiasan di Candi Singosari tidak seluruhnya diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Singosari dahulu belum selesai dikerjakan tetapi kemudian ditinggalkan. Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan adanya peperangan, yaitu serangan Raja Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-Gelang terhadap Raja Kertanegara kerajaan Singosari yang terjadi tahun 1292.

3. Candi Penataran

Di komplek percandian Panataran relief-relief dipahatkan pada din­ding candi, pada bagian belakang area dwaraphala dan juga pada dinding kolam.. Relief-relief yang terdapat di dinding pendopo teras pada bidang atau atau panil-panil tertentu di bagian atasnya ter­dapat tulisan singkat dalam huruf Jawa Kuno yang diduga me­rupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang seharusnya digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca rnemang sesuai dengan adegan yang dilukiskan dalam relief ter­sebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini juga terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandiarr Panataran yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini.

Relief pertama adalah Sang Setyawan. Lokasinya pada dinding sisi timur bangunan Pandopo Teras. Urutan adegan Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri dari sekitar 18 panil. Ceritanya tentang Seorang penduduk kahyangan ber­nama Sang Satyawan seseorang yang diki­sahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan se­tia sehingga bersedia mengerjakan segala perkerjaan sampai pekerjaan yang dipan­dang hina sekalipun. Pada suatu ketika Sang Setyawan mengha­dap di kerajaan Puspa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Se­tyawan sehingga dengan senang hati ia men­jodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri. Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri bersama abdinya yang bernama Su­citta mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya datang dari kejauhan, Sang Setya­wan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan harimau untuk membuat Suwistri takut. Ternyata Suwistri tenang-tenang sa­ja. Begitu juga sewaktu digoda oleh pertapa­-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka jatuh cinta pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian men­ciptakan sebuah pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cili­murti. Suwistri kemudian dijadikan pertapa dan di­beri pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan. Setelah selesai menuntut pela­jaran tersebut kemudian ia menjadi satu de­ngan Cilimurti yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya. Akhirnya diketahui bah­wa anaknya telah bersatu dengan Sang Hyang Wenang. Raja Jayati bersama istri­nya kemudian mengikuti jejak anaknya un­tuk menjadi pertapa. Atas perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan un­tuk menuju ke gunung Meru, raja Jayati di bagian Timur sedangkan Dewayani di bagian Barat.

Relief yang kedua adalah Sri Tanjung. Lokasinya berada di dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada bangunan Pandopo Teras. Urutan adegan prasawya, dimulai dari dinding sebelah ka­nan tangga masuk sebelah selatan. Relief ini menceritakan Pangeran Sidapaksa, salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi pada prabu Sulakrama di negeri Sindu­rejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas. Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik dan rupawan. Kecantikan Sri Tan­jung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuatyang tidak senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapak­sa dengan diutus kekahyangan dengan mak­sud supaya dibunuh para dewa sesuai de­ngan bunyi surat yang dibawakannya. Me­mang dikahyangan, Sidapaksa sempat diha­jar oleh para dewa dan hampir saja dibu­nuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa me­nyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari kahyangan dengan selamat. Sementara Si­dapaksa berangkat ke kahyangan prabu Su­lakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil. Merasa malu ke­mudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakan bahwa selama ia pergi kekahya­ngan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh. Diceritakan dalam per­jalanan ke alam alwah roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninaaJ maka oleh sang betari ia dihidupkan kem­bali. Sri Tanjung kernudian kembaii ke Desa Prangalas. Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah sebagaimana diucapkan sesaat sebelum me­renggang nyawa, menjadi sakit saraf dan harjpir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri Tan­jung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama. Pel•­mintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan ke­pala sang prabu dijadikan alas kaki (keset) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.

Relief yang ketiga adalah Bubuksah-Gagang Aking. Lokasinya pada dinding Pendopo Teras sebelah timur. Urutan adegan Prasawya, dari kiri ke kanan. Cerita adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama Bubuksah dan Ga­gang Aking. Kedua bersaudara tersebut ber­tapa untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam me­laksanakan "laku", Bubuksah makan segala makanan sehingga badannya gemuk se­dangkan Gagang Aking menjauhi makan mi­num sehingga menjadi kurus kering. Pada suatu ketika Betara Guru mengutus Kalawjjaya yang sebenarnya juga seorang dewa yang menyamar sebagai harimau putih untuk menguji kedua kakak beradik terse­but. Kalawijaya mengatakan menginginkan daging manusia, ketika permintaan ini dis­ampaikan ke Gagang Aking serta merta dito­laknya dengan alasan tak ada gunanya me­makan dirinya yang kurus itu. Sedangkan Bubuksah menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih karena di­rinya dlam menja_1?nkan laku juga memakan segala jenis n:akanan dan juga binatang-bi­natang. Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya, Bubuksah di­nyatakan lulus dalam ujian. Setelah me­ninggal rokh Bubuksah didukung di atas tu­buh harimau tersebut semnt,ara Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja. Relief Bubuksah-Gagang Aking dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya di Candi Surowono yang terletak di daerah Pa­re, Kediri dan di Candi Gambar Wetan yang terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.

Relief yang lain adalah Ramayana (Hanoman Duto. Lokasinya pada dinding teras pertama Candi Induk, mengelilingi dinding teras. Urutan adegan Prasawya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat terus melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara, jumlahnya sekitar 91 panil. Cerita Singkatnya adalah Hanoman salah satu pimpinarn kera keper­cayaan Sugriwa pada suatu ketika diutus ke Alengka tempat istana Rahwana untuk men­cari Sita. Dengan jalan mendaki gunun ; ke­mudian menyeberangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian se­telah keadaan memungkinkan ia menye­linap ke dalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama. Sewaktu ke luar istana Hanoman kepergok penjaga istana sehingga terjadilah perkelahian. Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini kemudiarn dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan dikirim, pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak Ran­wana sampai patah tangannya. Pasukan berikutnya dipimpin oieh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah berantai). Dengan panah ini Hanoman berhasil dibelenggu, ekornya dibungkus kain kemudian dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta­ronta, dengan bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan. Dal amkeadaan terbakar ekomya ia melompat kian kemari, melompat ke atas bumbungan rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana menjadi gempar, sebelum maninggalkan tempat Hanoman sempat berpamitan kepada Sita. Hanoman kemudian lapor kembali ke Rama dan Laksmana. Sugriwa diperintahkan untuk menge­rahkan pasukan kera Dengan menembok samodra pasukan kera berhasil membuat jembatan menuju ke Alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh Sugriwa, Laksmana, dan Rama menyerang Alengka. Korban banyak berjatuhan di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Laks­mana berhasil memanah Kumbokarno se­hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa­sisa pasukan.

Relief Kresnayana (Noroyono Maling) terletak pada dinding teras kedua Candi Induk. Urutan adegan, Pradaksina, dari kanan terus ke kiri. Cerita Singkatnya tentang Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah dipertunangkan de­ngan Suniti raja dari negeri Cedi. Partuna­ngan ini tidak disetujui oleh ibu Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodoh­kan dengan Kresna. Ibu Rukmini berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Se­waktu perkawinan akan berlangsung Ibu Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini ke luar istana menuju pintu gerbang Sri Ma­nganti, kemudian disambut oleh Kresna un­tuk dibawa lari. Suasana istana gempar, ter­jadilah pertempuran antara kedua belah pi­hak. Dalam pertempuran ini Rukmu adik Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya adiknya tidak dibunuh. Kres­na dan Rukmini kemudian pergi ke Dwa­rawati, mereka hidup bahagia.

Relief Pemburu yang tertipu terletak pada dinding sisi utara kolam berangka tahun dan jugr di bagian belakang arca penjaga sehelah kiri tangga utara Candi Induk. Urutan adegannya Prasawya, dari kiri terus ke kanan, yang di bagian belakang arca dwaraphala candi in­duk hanya suatu adegan. Cerita Singkatnya tentang seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-ku­ra. Seekor kancil yang konon merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan perha­tian pemburu kepadanya. Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ke tanah dan beralih mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak belu­kar. Kancil larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Relief kura-kura yang sombong terletak pada dinding kolam berangka tahun, dinding sisi barat. Urutan adegannya dari kanan terus ke kiri, letak panil hamper di bagian tengah dinding. Cerita Singkatnya adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering. Maklumlah se­dang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk menolong­nya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang di­gigit oleh burung belibis, kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan, burung belibis berpesan kepada kedua kura-kura untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan. Namun amanat burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan, mulut kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang digigitnya, sehingga keduannya ja­tuh ke tanah dan menjadi santapan lezat ka­wanan serigala.

Relief yang terakhir adalah lembu dan buaya yang terletak pada dinding kolam berangka tahun pada dinding bagian barat, juga terdapat pada bagian be­lakang arca dwaraphala bertahun 1269 Sa­ka yang terletak di sebelah kanan tangga n:acuk bangunan candi induk sisi utara. Urutan adegan, Dari kiri terus ke kanan. Cerita Singkatnya tentang seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu tempat yang berlubang sehingga masih sempat menye­lamatkan diri tidak sampai mati. Seekor lem­bu jantan sedang lewat di depannya kemu­dian dimintainya pertolongan. Lembu jantan tidak keberatan dan berhasil mengang­kat pohon yang tumbang tersebut. Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya. Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung) lembu digigitnya. Karena terasa sakit, maka terjadilah perkelahian. Lembu jantan hampir kalah karena laut bu­kan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit perkara (tidak digambarkan dalam relief. Buaya dikemba­likan ke tempat semula sewaktu kerobohan pohon dan kemudian ditinggalkan sendirian. Buaya tinggal menunggu ajalnya saja.

  1. Kesimpulan

Bentuk bangunan Candi di Jawa Timur berbentuk ramping tinggi, tidak seperti candi-candi di Jawa Tengah yang umumnya berbentuk gemuk pendek (tambun). Candi-candi tersebut biasanya terbuat dari batu bata adhesit. Ciri bangunan candi menunjukkan percampuran budaya Hindu dan Budha. Ciri candi Hindu-Budha ini masih dipertahankan saat Islam masuk ke Pulau Jawa. Kompleks pemakaman wali yang menjadi satu masjid masih menunjukkan ciri-ciri Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan, ragam hiasnya serta relief yang mampunyai banyak kesamaan dengan candi-candi Hindu-budha.

Ragam hias yang umum pada candi-candi di Jawa Timur adalah Kala Makara yang biasanya berada di atas ambang pintu. Kalamakara ini biasa disebut sebagai banaspati. Hiasan ini dimaksudkan sebagai penjaga bangunan dari roh jahat. Selain itu hiasan yang lain berupa Naga yang dianggap sebagai hewan suci. Hiasan teratai dan daun juga menghiasi makam-makam wali.

Fungsi candi Jawi dan candi Singosari adalah sebagai tempat pendermaan atau tempat pemujaan dan bukan sebagai pemakaman. Sedangkan fungsi candi naga di kompleks candi penataran sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Selain itu fungsi makam wali adalah sebagai tempat ziarah umat islam agar mendapatkan berkah.

Relief yang ada pada candi-candi di Jawa Timur berbentuk pipih. Dengan melalui.visuali­sasi relief-relief ini nenek moyang kita atau para seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan-pesan tetsebut dapat berupa cerita yang di dalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya.