Rabu, 09 Juli 2008

power and solidarity

  1. Pendahuluan

Setiap individu adalah anggota dari tipe kelompok yang berbeda-beda. Setiap kelompok itu mempunyai status yang berbeda baik status secara institusional maupun status yang ada dalam kelompok itu saja hierarki. Status itu secara tidak langsung akan dilekati oleh kehormatan atau prestige. Setiap status akan dibebani oleh peran-peran tertentu yang tersusun dalam aturan atau struktur dan aturan sebagai cara untuk ambil bagian dalam kegiatan kelompok. Karena itu, setiap peran dalam kelompok harus mengikuti norma-norma tingkah laku linguistik atau bahasa yang tepat.

Kelompok sosial yang paling kecil adalah keluarga. Namun bila suatu keluarga besar yang memasukkan keluarga yang jauh kekerabatannya maka participannya akan sangat besar. Keluarga besar yang dimaksudkan disini adalah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak ditambah dengan orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan seperti nenek, bibi, paman, sepupu, keponakan, mertua dan ipar.

Dalam keluarga besar ini ada interaksi atau hubungan antara participan satu dengan lainnya. Menurut T. Bell (1976: 103 ) ada dua macam hubungan yaitu hubungan primer dan hubungan sekunder. Pertama adalah hubungan primer yang bercirikan proksimitas ruang yang dekat dalam waktu yang lama menyangkut jumlah participan yang kecil. Biasanya juga ada kesepakatan tentang tujuan, pengetahuan yang luas tentang participan lain, penaksiran intrinsik tentang participan lain dan penaksiran intrinsik tentang participan lain. Selain itu participan bebas mengungkapkan dirinya secara spontan, karena hanya dihalangi oleh kontrol informal yang murni. Dalam psikologi hubungan ini menunjukkan nilai-nilai solidaritas.

Kedua adalah hubungan sekunder yang bercirikan pada jarak yang cukup jauh, waktunya singkat, dan jumlah participan yang lebih besar. Ciri lain adalah adanya tujuan yang berbeda-beda, penaksiran ekstrinsik atau diorientasikan pada penggunaan dan pengetahuan tentang participan lain terbatas. Selain itu ada perasaan tertekan, yang diakibatkan oleh adanya kontrol formal pada tingkah laku dari semua participan yang terlibat. Ciri-ciri inilah yang menunjukkan adanya kekuasaan.

Jika anggota-anggota keluarga ini bertemu satu sama lain maka akan terbentuk tuturan-tuturan yang menunjukkan adanya kekuasaan dan solidaritas. Kekuasaan dan solidaritas ini dapat dilihat jika bahasa yang digunakan dihubungkan dengan konteks sosial. Konteks sosial inilah yang menjadi alasan mengapa mereka menunjukkan kekuasaan ataupun solidaritasnya. Untuk melihat adanya tanda kekuasaan dan solidaritas maka diperlukan ciri-ciri bahasa tertentu yang digunakan oleh para participan dalam berkomunikasi.

B. Bahasa dan konteks sosial

Para participan suatu komunikasi tidak bisa di pisahkan dari konteks sosial. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda. Ketika harus berbicara di acara pertemuan keluarga maka mereka juga harus menyesuaikan diri dengan konteks acara tersebut. Menurut Dell Hymes (1974:53) konteks sosial meliputi setting, participant, end, act sequence, key, instrument, norm, genre yang di singkat menjadi akronim SPEAKING.

S ( setting and scene) atau latar dimana bahasa itu digunakan. Latar ada dua macam yaitu setting atau latar fisik dan scene atau latar psikologi. Latar fisik meliputi latar tempat, waktu berlangsungnya tindak tutur. Sedangkan latar psikologi adalah situasi pada saat tindak tutur berlangsung. Latar psikologis bisa berubah dari yang formal menjadi informal atau dari serius menjadi santai. Orang yang sedang berbicara di kelas berarti harus menyesuaikan bahasanya dengan latar kelas, waktu dan situai di kelas.

P (participant) atau penutur atau pengirim dan petutur atau penerima yang turut ambil bagian dalam komunikasi. Participan berperan penting dalam menentukan tuturan yang harus digunakan. Participan biasanya dibedakan atas dasar jenis kelamin pria atau wanita, usia, status sosial, kedekatan sosial Seorang pria biasanya akan lebih keras jika berbicara dengan sesama pria, namun akan lebih lembut tuturannya jika berbicara dengan wanita. Hal itu karena mereka mempertimbangkan bahwa wanita mempunyai cara berbicara yang lebih lembut daripada pria.

E (end) meliputi fungsi dan hasil. Fungsi dapat diartikan sebagai situasi dimana tuturan dianggap penting (fungsi transaksional) dan memperkuat atau menjalin hubungan interpersonal (fungsi interaksional). Sedangkan hasil merupakan efek dari tuturan terhadap petutur atau penerima. Situasi yang terjadi di pengadilan tujuannya adalah untuk menyelesaikan suatu perkara. Namun, para participan di dalam sidang mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, sementara pembela berusaha membuktikan terdakwa tidak bersalah, dan hakim berusaha memberikan putusan yang adil. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda agar tujuannya tercapai.

A ( act sequence) merupakan bentuk dan isi tuturan. bentuk dan isi tuturan adalah pusat suatu tindak tutur dan merupakan fokus dari struktur sintaktisnya. Bentuk tuturan adalah bagaimana sesuatu diucapkan. Isi tuturan meliputi hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Participan dituntut untuk tahu tentang apa yang sedang dibicarakan, bagaimana perubahan pembicaraan, dan mengatur pembicaraan. Yang membedakan bentuk dan isi tuturan dapat dilihat dari pernyataan “dia berdoa, dia berkata” dengan kalimat “dia berdoa agar dia baik-baik saja”.

K (Key) adalah intonasi, sikap, dan semangat saat mengucapkan tuturan. beberapa hal ini dapat membedakan tuturan yang serius, formal atau berkelakar. Hal ini juga bisa ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

I (instrument) adalah jalur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Instrumen bisa berupa komunikasi langsung, tertulis, surat. Instrument juga bisa berarti kode yang digunakan dalam berkomunikasi seperti dialek ragam, register dan bahasa.

N (Norm) adalah norma yang mendasari suatu interaksi dan intrepetasi. Norma adalah perilaku dan kesantunan yang tidak bisa dibatasi dan seseorang bebas untuk melakukannya. Misalnya saja berhubungan dengan cara bertanya, menyanggah dan memberi masukan ide dalam suatu diskusi.

G (Genre) mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti puisi, peribahasa, doa, narasi, teka-teki dll.

  1. Kekuasaan dan solidaritas

Pembahasan kekuasaan dan solidaritas difokuskan pada sumber kekuasaan dan tanda yang menunjukkan adanya kekuasaan dan solidaritas. Sumber kekuasaan bisa berasal dari stratifikasi sosial. Sedangkan adanya kekuasaan dan solidaritas dapat dilihat dari cara memanggil, bentuk kata kerja, dan tingkatan kosakata (Hudson, 1980: 93).

1. Stratifikasi sosial sebagai sumber kekuasaan dan solidaritas

Bahasa bisa digunakan untuk mengidentifikasi kelas sosial atau stratifikasi sosial pemakainya. Stratifikasi sosial adalah strata sekelompok orang yang tinggal bersama atau dalam kesatuan status sosial. Faktor yang membedakan strata seseorang adalah usia, jenis kelamin, suku, pendidikan formal, agama, status ekonomi, dan pekerjaan.

Menurut Fairclough (1989:32-33), ada beberapa faktor yang memunculkan kekuasaan dan solidaritas. Faktor yang pertama adalah kelas sosial. Kelas sosial sangat jelas terlihat pada negara kapitalis. Kelompok tertentu yang mempunyai tingkat ekonomi tertinggi akan dianggap sebagai kelas tertinggi, dan yang lebih rendah akan disebut sebagai kelas menengah atau kelas sosial bawah.

Faktor yang kedua adalah kekuasaan dalam pemerintahan. Hal ini terkait dengan posisi seseorang dalam lembaga pemerintahan yang memegang kendali. Lembaga-lembaga itu misalnya kepolisian, tentara, pegawai negeri sipil. Selain itu lembaga pendidikan, pengadilan, dan media masa juga memungkinkan adanya kekuasaan dan solidaritas.

Faktor berikutnya adalah kekuasaan ideologi. Kekuasaan ideologi terkait dengan pandangan hidup seseorang atau sekelompok masyarakat yang mendasari kehidupannya secara umum. Faktor ini memegang peranan penting dalam kekuasaan ekonomi dan politik .

2. Tanda bahasa Jawa yang menunjukkan kekuasaan dan solidaritas

Masyarakat Jawa sebagian besar masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, selain bahasa Indonesia. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang bisa digunakan untuk mengenali tingkat status pemakainya sesuai dengan tingkatan bahasa yang digunakan. Tingkatan bahasa Jawa terdiri dari ngoko andap, ngoko alus, krama madya dan krama inggil. Dari keempat tingkatan ini dapat dikenali kelas sosial, usia, gender, hubungan kekerabatan, dan rasa hormat.

Ngoko andap digunakan kepada orang yang pada umumnya digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih muda atau sama, status sosialnya lebih rendah atau sama dan hubungan sosialnya dekat atau kenal baik satu sama lain. Contohnya bahasa Jawa dialek Tuban adalah kowe ape dolan ning endi esuk-esuk ngono ku?

Ngoko alus digunakan untuk orang yang usianya lebih muda, sama atau lebih tua, statusnya sama atau lebih tinggi, dan hubungan sosialnya agak jauh. Bahasa ini digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Ngoko alus adalah campuran antara ngoko andap dan krama madya. Contohnya adalah sampeyan arep tindak ning endi esuk-esuk ngene iki?

Krama madya digunakan untuk orang yang usianya lebih tua, statusnya lebih tinggi, dan hubungan sosialnya jauh. Bahasa ini digunakan untuk menghormati orang yang diajak berbicara. Contoh krama madya adalah Njenengan badhe tindak teng pundi enjang-enjang ngoten niki?

Krama inggil digunakan untuk orang yang usianya lebih tua, statusnya lebih tinggi, dan hubungan sosialnya jauh. Bahasa ini digunakan untuk menghormati orang yang diajak berbicara. Krama inggil biasanya hanya digunakan dalam situasi-situasi yang sangat formal seperti acara lamaran pernikahan. Contoh krama inggil adalah Panjenengan badhe tindak dateng pundi enjang-enjang ngaten meniko?

Menurut Geertz dalam Hudson (1980: 93 ) ada tiga ciri-ciri bahasa Jawa yang menunjukkan kekuasaan dan solidaritas yaitu cara memanggil, bentuk kata kerja dan tingkatan kosakata.

a. Cara Memanggil

Cara ini digunakan untuk memanggil seseorang dalam konteks tertentu. Panggilan ini didasarkan pada kedekatan hubungan antara yang memanggil (addressor) dan yang dipanggil (addressee). Panggilan bisa berupa kata ganti orang pertama (addressor), kedua (addressee), dan ketiga atau orang lain yang sedang dibicarakan.

Dalam bahasa jawa ada tiga tingkatan cara memanggil dengan kata ganti orang pertama yaitu kowe, sampeyan, dan panjenengan. Cara memanggil ini didasarkan pada status participan yang berupa usia, status sosial dan kedekatan sosial. Kowe pada umumnya digunakan untuk memanggil orang yang lebih muda atau sama, status sosialnya lebih rendah atau sama dan hubungan sosialnya dekat. Sedangkan sampeyan digunakan untuk orang yang usianya sama atau lebih tua, statusnya sama atau lebih tinggi, dan hubungan sosialnya agak jauh. Sedangkan panjenengan digunakan untuk orang yang usianya lebih tua, statusnya lebih tinggi, dan hubungan sosialnya jauh.

b. Bentuk kata kerja

Kata kerja dalam bahasa Jawa juga memiliki tingkatan yang jelas. Satu kata bisa memiliki banyak sinonim yang berbeda konteks penggunaannya. Banyaknya kata-kata sinonim ini bervariasi tergantung dari daerah pemakainya. Seperti contoh kata makan dalam bahasa Jawa dialek Tuban adalah dhahar, nedho, mangan, mbadok, nguntal, njeglak. Semakin ke kanan semakin rendah tingkatannya. Dan semakin rendah tingkatannya maka semakin berkurang kekuasaannya dan semakin jelas solidaritasnya.

c. Tingkat kosakata

Dalam bahasa Jawa juga terdapat tingkatan kosakata yang berbeda penggunaanya sesuai konteks sosial pembicaraan. Bahasa Jawa mempunyai banyak leksikon yang masing mempunyai banyak persamaan kata atau sinonim. Sinonim tersebut masing-masing mempunyai makna konotasi. Seperti kata omah, griya, dalem. Kata omah dipakai untuk bahasa ngoko sedangkan griya untuk bahasa krama madya dan dalem untuk bahasa krama inggil.

D. Kekuasaan dan solidaritas dalam keluarga masyarakat Tuban.

Dalam masyarakat Jawa seperti Tuban, bahasa Jawa masih kental digunakan. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa ngoko andap, ngoko alus dan krama madya. Krama Inggil jarang sekali digunakan yaitu hanya pada acara-acara khusus seperti pada acara pernikahan. Berikut ini akan disajikan percakapan yang terjadi antar anggota keluarga besar dalam berbagai konteks sosial. Dalam percakapan ini terlihat ciri-ciri bahasa yang menunjukkan kekuasaan dan solidaritas.

Percakapan 1

Mertua : Kenek opo awakmu kok ora tau telpon omah. Wes dikandani nek balik ning suroboyo iku ngandani wong tuwo.

Menantu : Enggih bapak, amargi kulo kolo wingi sampun kedalon, dadose mboten ngantos telpon.

Mertua : Yo ngono kuwi, bocah nek dikandani mok nguya-nguyu. Engko nek awakmu dadi wong tuwo mesti lagek ngerti rasane.

Secara keseluruhan bahasa yang digunakan digunakan oleh P1 adalah bahasa Jawa ngoko andap. Hal ini bisa dilihat dari kata panggilan “awakmu” yang berarti kamu. Kata ini berada dalam tingkatan terendah dari sinonimnya yaitu “sampeyan dan panjenengan”. Selain itu kata panggilan “bocah” yang berarti anak juga lebih rendah tingkatannya daripada “lare”. Sedangkan kata kerja “balik” yang berarti kembali juga lebih rendah daripada “wangsul dan kundur” . Selain itu kata Kosakata ngoko juga terlihat pada kata omah yang artinya rumah lebih rendah daripada kata “griya dan dalem”.

Sedangkan bahasa yang digunakan P2 secara keseluruhan adalah krama madya. Hal ini terlihat pada kata panggilan bapak , yaitu kata panggilan hormat kepada bapak mertuanya. Kata panggilan kulo pada dirinya sendiri adalah bentuk krama madya dari aku . Kata kerja yang digunakan juga menunjukkan krama madya seperti kedalon yang artinya kemalaman lebih tinggi tingkatannya daripada kewengen. Bentuk leksikon krama madya adalah amargi yang berarti karena, kata ini lebih tinggi daripada mergo.

Bahasa ngoko yang digunakan bapak mertua (P1) mengungkapkan suatu kekuasaannya sebagai orangtua kepada anak menantunya (P2). Ada beberapa alasan yang mendasari pilihan bahasa yang digunakan P1 yaitu karena P2 adalah menantunya yang dalam hierarki sosial dikeluarga lebih rendah daripada bapak mertua. Percakapan ini terjadi di rumah P1 pada waktu siang hari dalam situasi yang santai. Rumah tempat tinggalnya ini membuat P1 leluasa untuk menegur menantunya karena disana P1 adalah kepala keluarga yang berhak mengatur rumah tangga. Tujuan dari percakapan ini adalah menegur P2 karena sudah jengkel setelah berulangkali mengingatkan tidak di patuhi. P1 merasa harus menunjukkan ketegasannya dengan menggunakan bahasa ngoko andap. Tujuannya adalah agar si anak menantu tidak membuat orang tuanya khawatir. Percakapan ini terjadi secara langsung sehingga dan terlihat jelas intonasi P1 tenang dan dijaga agar tidak meninggi, hal ini karena P1 masih menghormati P2.

Bahasa krama madya yang digunakan P2 menunjukkan rasa hormat dan pengakuan kekuasaan P1. P2 merasa bahwa bapak mertuanya mempunyai tanggung jawab untuk menegurnya. Jauhnya hubungan sosial membuatnya harus menjaga perilakunya terutama bahasanya. Dia menyadari bahwa aturan masyarakat Jawa harus hormat kepada orang tua apalagi kepada Mertua.

Percakapan 2

Kakak Ipar : ndok, cah ayu engko nek mulih telpon aku soale lawange tak kunci.

Adik Ipar : beres bos, engko tak hubungi, sampeyan saiki ning endi?

Kakak Ipar : aku sek ning rental komputer, mbenerno CPU.

Bahasa yang digunakan oleh kakak ipar (P1) dan adik ipar (P2) adalah ngoko andap. Bahasa yang mereka gunakan menunjukkan solidaritas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan cara memanggil P1 kepada P2 adalah ndok cah ayu yang berarti anak manis. Hal ini dimaksudkan untuk menyenangkan hati adik iparnya agar dia merasa dianggap seperti adik kandung sendiri. Sedangkan kata panggilan P2 kepada P1 adalah bos dan sampeyan. Tujuannya adalah agar kakak iparnya merasa permintaan kakaknya akan dipatuhi sebaik-baiknya. Dengan kata-kata panggilan itu P1 dan P2 dianggap sudah kenal baik satu sama lain. Si kakak ipar sudah tahu cara menyenangkan hati adik iparnya yang manja dan adik ipar tahu cara menghormati kakaknya.

Kata kerja yang digunakan adalah mulih yang berarti kembali juga lebih rendah daripada wangsul dan kundur . Selain itu kata Kosakata ngoko juga terlihat pada kata engko yang artinya nanti lebih rendah tingkatannya daripada kata mangke. Selain itu ada kata tak hubungi yang lebih rendah tingkatannya daripada kata tak aturi.

Solidaritas itu muncul karena situasi dalam percakapan itu adalah santai dan dilakukan melalui telepon. Sedangkan hubungan komunikasi cukup akrab karena beda usia yang hanya terpaut sedikit. Tujuan dari percakapan itu adalah untuk mengingatkan si adik sekaligus sebagai permintaan maaf F1 karena dia harus menunggu sampai si kakak pulang. Si adik meskipun menggunakan bahasa ngoko andap tapi masih menjaga intonasi suaranya agar selalu rendah.

Percakapan 3

Bibi : Kapan rawuh soko suroboyo ko lagi tindak mrene.

Keponakan : Kolo dalu budhe..Inggih kolo wau ngrantos bapak kundur saking kantor.

Bibi : lha ngerti ngono yo di susul mas wae no..

Keponakan : lha mangke lak ngrepoti mas, budhe..wong tebih..

Bibi : Monggo didhahar jeng!

Keponakan :Inggih..inggih sampun, kulo mangke mendet piyambak.

Bahasa yang digunakan Bibi (P1) adalah bahasa ngoko alus. Hal ini menunjukkan solidaritas kepada keponakannya (P2). Kata panggilan jeng adalah panggilan kepada wanita yang sudah dianggap dewasa dan harus dihormati. Kata kerja yang digunakan adalah bahasa krama madya yaitu rawuh, tindak, dhahar.

Sedangkan bahasa yang digunakan P2 secara keseluruhan adalah krama madya. Hal ini terlihat pada kata panggilan budhe , yaitu kata panggilan hormat kepada bibi. Kata panggilan kulo pada dirinya sendiri adalah bentuk krama madya dari aku . Kerja yang digunakan juga menunjukkan krama madya seperti ngrantos yang artinya menunggu lebih tinggi tingkatannya daripada ngenteni. Kata kundur lebih tinggi daripada mulih. Bentuk leksikon krama madya adalah saking yang berarti nanti , kata ini lebih tinggi daripada engko. Selain itu ada kata sampun, yang lebih tinggi tingkatannya daripada wis.

Bahasa ngoko alus yang digunakan bibi dari suami (P1) mengungkapkan suatu kekuasaan sekaligus rasa hormat sebagai bibi kepada keponakannya (P2). Ada beberapa alasan yang mendasari pilihan bahasa yang digunakan P1 yaitu karena P2 adalah keponakan yang dalam hierarki sosial dikeluarga lebih rendah daripada bibi tetapi dianggap sudah dewasa dan harus dihormati. Mereka berdua jarang bertemu dan belum mengenal baik satu sama lain sehingga masing-masing menjaga sikap. Percakapan ini terjadi di pertemuan keluarga pada waktu siang hari dalam situasi yang santai. Tujuan dari percakapan sebenarnya bukanlah pertanyaan Kapan rawuh soko suroboyo ko lagi tindak mrene yaitu kapan datang dari Surabaya ko baru tiba, tetapi lebih sebagai ramah tamah untuk menyambut orang yang baru datang. Agar P2 yang menjadi tamu merasa kedatangannya dihargai dan dinantikan. Percakapan ini terjadi secara langsung. Intonasi P1 bersemangat dan gembira sebagaimana layaknya menyambut tamu.

Bahasa krama madya yang digunakan P2 menunjukkan rasa hormat terhadap P1.k begitu dekat dan jarang sekali ketemu. P2 merasa bahwa bibi dari suami belum mengenalnya dengan baik karena itu dia harus menjaga sikap baik. Dia menyadari bahwa aturan masyarakat Jawa harus hormat kepada semua keluarga suaminya terutama yang lebih tua.

  1. Penutup

Penjelasan mengenai bentuk kekuasaan dan solidaritas memberikan suatu pemahaman tentang hubungan antara bahasa, konteks sosial dan tingkatan bahasa yang ada didalamnya. Bahasa yang dipakai selalu dikaitkan dengan konteks situasi yang yang di rumuskan oleh Dell Hymes Sebagai SPEAKING. Konteks bahasa ini juga yang mendasari mengapa seseorang memilih tingkatan bahasa tertentu. Sedangkan untuk mengetahui tanda kekuasaan dan solidaritas dalam bahasa Jawa diperlukan teori Geertz. Tanda bahasa tersebut meliputi cara memanggil, bentuk kata kerja dan tingkatan kosakata.

Tingkatan percakapan keluarga Jawa di tuban terdiri dari 3 tingkatan yaitu ngoko andap, ngoko alus, dan krama madya. Sedangkan krama Inggil jarang sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari. Cara memanggil dalam bahasa ngoko adalah kowe,awakmu dan aku, bahasa krama adalah sampeyan, bapak, budhe. Bentuk kata kerja yang digunakan bahasa ngoko adalah engko, mulih, dan hubungi. Sedangkan dalam bahasa krama adalah rawuh, tindak, dhahar.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagai anggota keluarga kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. Mungkin suatu saat kita berada dirumah sendiri dan selalu berada dalam situasi yang bebas atau tidak ada tekanan. Namun di saat yang lain kita akan dihadapkan pada situasi lain yang berisi tekanan baik tekanan norma maupun formalitas. Tekanan ini mengikat kita untuk selalu menggunakan bahasa yang dianggap baik oleh budaya kita.

Daftar Rujukan

Fairclough, Norman. 1984. Language and Power. United Kingdom: Longman

Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics An Ethnographic Approach . Philadelphia. University of Pensylvania Press.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

T. Bell, Roger. 1976. Sociolinguistics, Goals, Approaches, and Problems. London: B.T. Batsford Ltd.

Tidak ada komentar: